Inilah Si Putih, Waria Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman saat perang
-
01-21-2016,
Inilah Si Putih, Waria Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman saat perang, Ketika tak ada yang berani, seorang waria menyediakan diri menjadi penunjuk jalan rombongan gerilya Jenderal Soedirman.
Keberhasilan gerilya Jenderal Soedirman terletak pada kesediaan
masyarakat membantu perjuangannya. Mereka menyediakan penginapan dan
makanan, membuatkan tandu baru, memikul tandu, dan penunjuk jalan karena
penduduk setempat lebih mengetahui arah jalan yang akan ditempuh.
“Menjadi kebiasaan rombongan itu untuk menggunakan tenaga-tenaga
setempat sebagai penunjuk jalan,” tulis buku Soedirman Prajurit TNI
Teladan.
Pada 24 Januari 1949 malam, Kapten Tjokropranolo, pengawal
Soedirman, memutuskan jalan dari Desa Jambu menuju Warungbung. Penduduk
setempat menyarankan agar paginya sudah harus berangkat ke tempat lain
karena ternyata rombongan bergerek mendekati markas Belanda di
Kasugihan, yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. Tandu dibuat dan
pemanggul disiapkan malam itu juga. Benar saja,
setelah mereka sampai di Desa Gunungtukul pada 25 Januari 1949, deru
kendaraan militer Belanda begitu dekat sehingga rombongan terus
melanjutkan prejalanan.
Sewaktu hendak memotong jalan Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949,
Tjokropranolo seperti biasa mencari seorang penunjuk jalan. “Di daerah
itu oleh penduduk setempat saya diperkenalkan kepada seorang penunjuk
jalan bernama Putih (kemungkinan besar bukan nama sebenarnya, red),”
kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin
Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia.
Namun, menurut Soedirman Prajurit TNI Teladan, orang itu penduduk Desa
Jambu di Trenggalek, yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Dengan
tetap waspada, tawaran itu diterima dengan senang hati.
Mula-mula, Tjokropranolo merasa aneh mengapa justru si Putih yang
berperawakan kecil, berkulit putih, berperangai lembut tapi gerakannya
lincah, dipilih sebagai penunjuk jalan. Sedangkan di sekelilingnya
banyak orang lain yang postur badannya besar dan kokoh. Rupanya, kata
Tjokropranolo, tidak ada orang yang berani menjadi penunjuk jalan karena
rombongan sudah dekat dengan pasukan Belanda. Tapi si Putih berani.
“Tanpa bertanya lagi saya terima saja si Putih sebagai penunjuk jalan.
Dalam perjalanan dari desa Gunungtukul ke desa Ngideng, si Putihlah yang
menjadi penunjuk jalan,” kata Tjokropranolo.
Dua hari dua malam si Putih berjalan. Sesampainya di Desa Ngideng,
rombongan menginap di rumah seorang penduduk yang cukup berada. Mereka
dilayani dengan baik. Rumahnya tidak jauh dari sungai yang cukup deras,
sehingga mereka lebih senang mandi di sungai daripada di sumur.
Tjokropranolo curiga terhadap si Putih karena tidak mau mandi
bersama-sama dan memilih mandi di tempat lain yang lebih jauh. Dia pun
memerintahkan seorang anggota rombongan, Mustafa, mengikuti si Putih.
Dia khawatir si Putih sudah tahu siapa yang ditandu dan melaporkannya
kepada pasukan Belanda di Ponorogo.
Setelah mengamati si Putih, Mustafa dengan tertawa lebar melaporkan
kepada Tjokropranolo bahwa si Putih adalah "seorang wanita yang
bertabiat kelaki-lakian." Bisa saja, dia tomboy, namun Tjokropranolo
menyebutnya waria. “Saya sendiri ngga ngira. Sifat-sifatnya persis
laki-laki. Legalah hati saya, setelah mengetahui bahwa si Putih itu
ternyata seorang waria. Dia tentunya akan selalu menghindar mandi
bersama kita,” kata Tjokropranolo.
Kendati Tjokropranolo tidak mengira telah dituntun oleh seorang waria,
namun dia mengakui peranannya. “Sungguh ngga ngira. Pokoknya kita
selamat.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar