Senin, 29 Februari 2016
Oleh: Alwi Shahab*
Wartawan senior
Dalam mempertahankan cagar budaya, Turki patut diacungkan jempol dan kudu ditiru. Ketika berkunjung ke Turki awal Juli 2010 selama 10 hari, Enis Ozacar (32 tahun) pemandu wisata kami, menyatakan dia akan membawa kami ke tempat-tempat bersejarah pada masa zaman kejayaan Yunani, ribuan tahun sebelum Masehi, masa Kesultanan Seljuk dan Ottoman saat Islam meluas ke Eropa. Tentu saja ke Musoleum Kemal Attaturk, pendiri Republik Turki di Ankara.
Selama 10 hari dan menginap di delapan hotel, rombongan menempuh jarak sepanjang 3.000 km atau kira-kira Jakarta-Denpasar pulang pergi. Perjalanan sepanjang itu terasa tidak terlalu membuat penat karena jalannya mulus hingga kendaraan melaju tanpa hambatan.
Tidak kami jumpai jalan-jalan rusak yang berimbas pada kemacetan. Hingga tidak merepotkan polisi lalu lintas yang di Turki jarang kita temui di jalan-jalan raya. Mereka juga disiplin dalam berlalu lintas.
Tak ada yang berani menerjang lampu merah dan motor jarang sekali terlihat di jalan-jalan. Hampir tidak terjadi kemacetan termasuk di Istanbul yang berpenduduk 12 juta jiwa dan Ankara dengan penduduk empat juta jiwa. Ibu kota Turki ini semula hanya sebuah desa dengan penduduk 16 ribu jiwa.
Nyaman Transportasi Umum di Turki
Kendaraan lebih banyak didominasi kendaraan umum, seperti bus-bus besar yang terlihat masih baru, trem listrik, kereta api, dan subway (kereta api bawah tanah) yang di Jakarta belum juga terwujud.
Rakyat lebih banyak menikmati kendaraan umum ini ketimbang mobil pribadi. Mengapa demikian? Karena bahan bakar minyak di Turki harganya minta ampun.
Satu liter, kata Enis, penduduk kota Istanbul, harganya 12 dolar AS. Mungkin yang termahal di dunia, kata pemandu kami itu tersenyum.
Maklum Turki tidak memiliki produksi bahan bakar minyak dan sepenuhnya tergantung impor sementara tidak ada subsidi BBM. Tapi untuk angkutan umum, pemerintah memberikan harga murah hanya satu lira atau sekitar Rp 6.000 setiap penumpang.
Saya yakin masyarakat Jakarta bakal lebih memilih kendaraan umum daripada mobil pribadi jika kita dapat dengan mudah menikmati kendaraan umum. Busway sendiri kini makin tidak karuan.
Turki Memanjakan Wisatawan
Ketika polisi menilang mobil dan motor masuk jalur Transjakarta, kemacetan makin menjadi-jadi di Jakarta. Mengenai harga BBM, ketika saya mengatakan di Indonesia hanya Rp 4.500 per liter (saat ini Rp 7.150), seorang rekan dari Indonesia mengatakan, tapi berapa uang terbuang jika dihitung dengan pemborosan BBM akibat kemacetan.
Lestarikan budaya Pemerintah Turki memang tampaknya siap betul menyambut kedatangan wisatawan mancanegara. Berbagai cara mereka lakukan dengan melestarikan tempat-tempat yang dijadikan untuk dinikmati para wisatawan.
Tempat-tempat yang memiliki sejarah berabad-abad sebelum masehi, masih tampak seperti aslinya dengan berbagai polesan. Jalan-jalan ke tempat-tempat terpencil ini mereka bangun hingga tidak ada kesulitan mendatanginya.
Seperti tempat ketika terjadi Perang Troya di atas perbukitan yang merupakan legenda tersohor di dunia. Kita dengan mudah bisa mendatanginya di atas sebuah bukit.
Di sini dibangun sebuah kuda besar, kuda Troya yang dalam sejarahnya dapat menampung ribuah prajurit. Turki memang pantas membanggakan diri sebagai museum terbuka dan terbesar di dunia.
Tidak heran kalau penghasilan dari pariwisata merupakan seperlima dari pendapat nasional Turki yang terletak di antara dua benua Eropa (tiga persen) dan Asia (97 persen).
Pasar Tradisional Jadi Primadona
Kalau Indonesia untuk menarik wisatawan sebanyak enam juta orang sulitnya bukan main, Turki dengan mudah setiap tahun menampung 20 juta wisatawan asing dari berbagai negara. Terlihat banyaknya wisatawan dari Jepang, Korea, dan Cina. Kita juga harus acungkan jempol akan kebersihan kota-kota di Turki.
Begitu disiplinnya mereka hampir tidak ada yang membuang sampah di tengah jalan. Pasar-pasar di Turki yang mereka sebut bazaar menjadi tempat untuk menarik para wisatawan.
Di bazaar yang saling berhadapan dengan toko-toko para pedagang kecil dan besar tidak terlihat adanya persaingan. Tidak seperti pasar di Jakarta yang mal dan swalayannya berjubelan hingga ke desa dan kampung, meskipun di Turki hampir tidak terdapat mal, bazaar menjadi tempat kegiatan perdagangan antara pengusaha besar, kecil, dan menengah.
Di Jakarta, terdapat ratusan pasar tradisional, tapi kini makin terpuruk keadaannya disaingi mal dan swalayan yang jumlahnya makin menjamur. Di Istanbul, hampir tidak ditemukan mal.
Pemerintahnya memberikan komitmen yang tinggi untuk menghidupi pasar-pasar tradisional, yang menjual aneka kebutuhan masyarakat. Mestinya Pemerintah Indonesia khususnya Jakarta me niru seperti itu, sehingga ekonomi rakyat berkembang dan tidak dikuasai satu kelompok.
Rakyat Turki Bangga akan Identitas Keislaman
Ketika hendak berangkat ke Turki, seorang kerabat menyatakan kalau ingin mengetahui Islam di Turki, ucapkan salam, apakah mereka menjawab atau tidak. Dia mengatakan hal itu berdasarkan pengalamannya berkunjung ke Turki tahun 1970-an ketika kehidupan sekularisme masih kental.
Para pedagang termasuk di hotel-hotel akan selalu menjawab salam kita. Seperti di Grand Bazaar para pedagang akan mengucapkan alhamdulillah setelah berjual beli.
Masjid-masjid akan mengumandangkan azan setiap waktu shalat yang terdengar hingga jarak jauh. Mereka yang shalat juga saya dapati cukup banyak.
Bila kita bertanya soal keyakinan, mereka dengan bangga mengatakan Muslim. Turki yang berpenduduk 70 juta jiwa, 99 persen penduduknya memeluk Islam.
*Sumber: ROL
0 Response to "Mengumpulkan Remah-Remah Kejayaan Islam di Turki "
Posting Komentar