Selasa, 01 Maret 2016 / 18:16 WIB
JAKARTA. Perkara gugatan warga negara (citizen law suit)
terkait swastanisasi air Jakarta masih terus bergulir. Kabar terbaru,
meski telah kalah dalam tingkat banding, sejumlah warga negara yang
menamakan sebagai Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta
(KKMMSAJ) siap menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Kuasa hukum KKMMSAJ Arif Maulana dari LBH Jakarta menyampaikan, pengajuan kasasi itu merupakan upaya hukum pihaknya sebagai masyarakat untuk mendapatkan haknya atas air bersih. Apalagi ia menilai, putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelumnya tidak lah tepat.
Sekadar tahu saja, ada dua alasan majelis hakim mengabulkan permohonan banding yang diajukan Presiden RI, Wakil Presiden RI, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta pada 4 Januari 2016 lalu itu. Pertama, surat kuasa dari KKMMSAJ dinilai tidak sah dengan syarat hukum formil.
Kedua, gugatan warga negara yang diajukan KKMMSAJ tidak memenuhi karakteristik gugatan warga negara. Maka tak ayal, melihat pertimbangan hakim itu, Arif cukup menyangyangkan. Pasalnya, menurut dia, seharusnya kedua hal itu sudah tak dipertimbangkan lagi oleh majelis.
"Seharusnya majelis hakim lebih melihat pokok perkara bukan syarat formil yang seharusnya sudah tak menjadi masalah," tegas dia, Selasa (1/3).
Tak hanya itu Arif juga menganggap putusan tersebut seakan melegitimasi perbuatan inkonstitusional yang dilakukan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal swastanisasi air di Jakarta.
Di mana, atas putusan banding itu mengakibatkan perjanjian kerjasama air Jakarta dengan pihak swasta akan terus berlanjut sampai kontrak berakhir pada 2023 mendatang. Sehingga konsekuensi pengelolaan air di Jakarta akan terus buruk dan terus memberatkan masyarakat khususnya masyarakat marginal untuk mendapatkan air bersih.
"Maka dengan alasan itu juga kami percaya diri mengajukan kasasi," tambah Arif. Adapun kasasi itu sudah ia ajukan Selasa (1/3) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Arif juga menilai langkah baik pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan secara mandiri justru dilawan oleh pemerintah pusat sendiri sebagai pemohon banding. Sementara pihak pemerintah daerah, Pemprov DKI Jakarya dan PAM jaya yang seharusnya berdampak langsung akibat kerjasama tidak mengajukan banding. "Dalam arti lain mereka menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu itu dinilai sudah adil dan sesuai dengan fakta yang berlalu," lanjut Arif.
Nah menanggapi langkah yang diambil KKMMSAJ itu Sekretaris Perusahaan Aetra Pratama S Adi masih belum bisa berkomentar. Bahkan, ia mengaku belum mendengar putusan di tingkat banding. "Nanti ditanya ke legal dulu ya, tapi yang pasti dari kami masih ingin terus beroperasi," ungkap dia saat dihubungi KONTAN.
Sebelumnya, pada 24 Maret 2015 lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Air antara PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta yang dibuat pada tahun 1997 dinyatakan batal demi hukum.
Ketua majelis hakim saat itu Lim Nurohim menilai perjanjian kerjasama tersebut telah melanggar Perda DKI Jakarta No 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Derah Air Minum DKI Jakarta karena telah melalaikan kewajiban pemenuhan hak air minum bagi masyarakat Jakarta.
Majelis juga menilai kerjasama ini telah merugikan PAM Jaya dan negara. Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan PAM Jaya dari diprediksi akan mengalami kerugian sebesar Rp 18 triliun jika perjanjian tetap dilaksanakan.
Kerugian ini disebabkan adanya pengalihan aset PAM Jaya, pengadaan aset dan penjualan aset yang tidak dibukukan. Hal inilah yang menyebabkan harga air di Jakarta menjadi tinggi.
Kuasa hukum KKMMSAJ Arif Maulana dari LBH Jakarta menyampaikan, pengajuan kasasi itu merupakan upaya hukum pihaknya sebagai masyarakat untuk mendapatkan haknya atas air bersih. Apalagi ia menilai, putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelumnya tidak lah tepat.
Sekadar tahu saja, ada dua alasan majelis hakim mengabulkan permohonan banding yang diajukan Presiden RI, Wakil Presiden RI, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta pada 4 Januari 2016 lalu itu. Pertama, surat kuasa dari KKMMSAJ dinilai tidak sah dengan syarat hukum formil.
Kedua, gugatan warga negara yang diajukan KKMMSAJ tidak memenuhi karakteristik gugatan warga negara. Maka tak ayal, melihat pertimbangan hakim itu, Arif cukup menyangyangkan. Pasalnya, menurut dia, seharusnya kedua hal itu sudah tak dipertimbangkan lagi oleh majelis.
"Seharusnya majelis hakim lebih melihat pokok perkara bukan syarat formil yang seharusnya sudah tak menjadi masalah," tegas dia, Selasa (1/3).
Tak hanya itu Arif juga menganggap putusan tersebut seakan melegitimasi perbuatan inkonstitusional yang dilakukan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal swastanisasi air di Jakarta.
Di mana, atas putusan banding itu mengakibatkan perjanjian kerjasama air Jakarta dengan pihak swasta akan terus berlanjut sampai kontrak berakhir pada 2023 mendatang. Sehingga konsekuensi pengelolaan air di Jakarta akan terus buruk dan terus memberatkan masyarakat khususnya masyarakat marginal untuk mendapatkan air bersih.
"Maka dengan alasan itu juga kami percaya diri mengajukan kasasi," tambah Arif. Adapun kasasi itu sudah ia ajukan Selasa (1/3) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Arif juga menilai langkah baik pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan secara mandiri justru dilawan oleh pemerintah pusat sendiri sebagai pemohon banding. Sementara pihak pemerintah daerah, Pemprov DKI Jakarya dan PAM jaya yang seharusnya berdampak langsung akibat kerjasama tidak mengajukan banding. "Dalam arti lain mereka menerima putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu itu dinilai sudah adil dan sesuai dengan fakta yang berlalu," lanjut Arif.
Nah menanggapi langkah yang diambil KKMMSAJ itu Sekretaris Perusahaan Aetra Pratama S Adi masih belum bisa berkomentar. Bahkan, ia mengaku belum mendengar putusan di tingkat banding. "Nanti ditanya ke legal dulu ya, tapi yang pasti dari kami masih ingin terus beroperasi," ungkap dia saat dihubungi KONTAN.
Sebelumnya, pada 24 Maret 2015 lalu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Air antara PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta yang dibuat pada tahun 1997 dinyatakan batal demi hukum.
Ketua majelis hakim saat itu Lim Nurohim menilai perjanjian kerjasama tersebut telah melanggar Perda DKI Jakarta No 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Derah Air Minum DKI Jakarta karena telah melalaikan kewajiban pemenuhan hak air minum bagi masyarakat Jakarta.
Majelis juga menilai kerjasama ini telah merugikan PAM Jaya dan negara. Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan PAM Jaya dari diprediksi akan mengalami kerugian sebesar Rp 18 triliun jika perjanjian tetap dilaksanakan.
Kerugian ini disebabkan adanya pengalihan aset PAM Jaya, pengadaan aset dan penjualan aset yang tidak dibukukan. Hal inilah yang menyebabkan harga air di Jakarta menjadi tinggi.
0 Response to "Kini, kasus swastanisasi air Jakarta di tangan MA"
Posting Komentar