Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman, SH
(Mantan Anggota Komisi III DPR RI)
Tampaknya KPK harus berhadapan dengan kaum nasionalis ketika pembelaan Komisioner KPK Basaria Panjaitan untuk Ahok dilakukan tidak jujur. Kabar yang beredar di seminar TNI di Resto Empek Kita di tempat Bursah Sarnubi kemarin (5/3), adalah deal Presiden Jokowi dengan KPK yang meminta KPK melepaskan Ahok dari jeratan hukum. Sebaliknya Jaksa Agung menerbitkan deponeering untuk mantan Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Wijayanto. "Minus Novel Baswedan," ujar Hatta Taliwang. Sementara keterlibatan Jaksa Agung dalam kasus korupsi Gubermur Sumatera Utara akan dibersihkan.
Jika benar issu itu, KPK akan mengalami kesulitan eksistensinya di masa depan. Ia segera kehilangan dukungan dari civil society.
Tentu saja semua orang hukum paham ketidak jujuran KPK yang dikemukakan Basaria Panjaitan, bahwa KPK kesulitan menaikkan kasus Rumah Sakit Sumber Waras ke tingkat penyidikan karena tidak menemukan aspek korupsi. Menurut saya yang perlu dijawab, mengapa KPK berdusta. Issu di seminar TNI tadi mengkonfirmasi pernyataan Basaria.
Reaksi pertama datang dari Profesor Romli Atmasasmita. Romly menyediakan 350 ahli hukum untuk membantu KPK mengungkap kasus Rumah Sakit Sumber Waras.
Kasus RS Sumber Waras yang menyeret nama Gubernur DKI Ahok saat ini ditangani KPK. Pada 7 Desember 2015, KPK telah menerima hasil Audit Investigasi yang dilakukan BPK.
Dalam audit 2014, BPK menemukan pembelian lahan yang bersertifikat hak guna bangunan itu telah merugikan daerah sebesar Rp 191 miliar. BPK juga menilai lahan yang dibeli pemerintah lebih mahal dibandingkan harga tanah di sekitarnya sehingga ada potensi kerugian sebesar Rp 484 miliar (TEMPO).
Sudah tiga bulan KPK sepertinya belum serius menggarap temuan BPK. Bahkan melalui salah seorang komisionernya, Basaria Panjaitan, dinyatakan KPK belum menemukan indikasi korupsi.
"Saya punya anggota 350 ahli hukum pidana dalam MAHUPIKI, siap bantu KPK tuntaskan kasus YSW (Yayasan Sumber Waras). Tidak perlu dibayar dan tidak ada kepentingan apapun!" kata Prof. Romli di akun twitternya @romliatma, Jumat (4/3/2016).
MAHUPIKI (Masyarakat Hukum Pidana Dan Kriminologi) adalah organisasi keilmuan dan praktik di bidang hukum pidana dan kriminologi, didirikan pada tangal 19 Maret 2008.
Lebih lanjut Guru Besar FH-UNPAD ini menyatakan: "Siapa yang punya dokumen lengkap tentang kasus YSW kirim copynya ke LPIKP jl brawijaya IX no 8A Kebayoran Jaksel. Lembaga akan kaji secara dalam."
"Saya kumpulkan ahli hukum pidana/ahli HTN/hukum administrasi negara dan hukum perdata untuk kaji komprehensif dan dipublih secara luas hasilnya. Pasti objektif dan independen."
"Semakin "gaduh" kasus YSW semakin ingin tahu masalahya dari aspek hukum (pidana/perdata/administrasi neagra/pajak), agar objektif LPIKP bersedia bantu analisis."
Prof. Romli juga menyindir KPK yang biasanya "trengginas" dan "kilat" dalam kasus-kasus yang menyeret pejabat daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) tapi kok dalam Kasus Sumber Waras yang menyeret Gubernur Ahok sepertinya KPK loyo.
"Jika lihat kasus Tipikor (tindak pidana korupsi) terkait pejabat Gub/Walkot/Bupati, KPK biasanya trengginas-kilat-tangkap dan tahan. Kasus YSW?" tanya Prof. Romli. Gimana KPK ? Ada apa KPK ? Kenapa TEBANG PILIH?, katanya.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto berencana memberikan data yang dimilikinya kepada Romli. Ia berharap Romli dan koleganya bersedia hearing dengan Komisi III DPR.
Secara politik, kasus RSSW itu telah dipengaruhi suasana Pilkada DKI Jakarta yang tidak menguntungkan pengusutannya. Ada kesepakatan di Komisi III, KPK, Jaksa, dan Polisi tidak melakukan law action saat berlangsungnya rivalitas karena akan mengubah petugas hukum terlibat rivalitas. Namun, kasus itu sendiri muncul jauh sebelum issu Pilkada.
Tanpa bantuan KPK untuk mentersangkakan Ahok, niscaya ia memenangkan Pilkada. Namun bagi para nasionalis, menghambat Ahok untuk menghambat ambisi politik OBOR (on bealt on road -- satu sabuk satu jalan satu China) Tiongkok yang disandangkan oleh penguasa Beijing sebagaimana dikemukakan Perdana Menteri China Li Keqiang di Jakarta tahun lalu kepada Hoaqiau (Diaspora China).
Ahok memang memungkinkan menjadi presiden setelah kata "asli" dicopot dari UUD 45 oleh amandemen yang menyamakan hak Hoaqiau sama dengan pribumi.***
Sumber: http://www.teropongsenayan.com/32975-benarkah-presiden-jokowi-melindungi-ahok
0 Response to "Benarkah Presiden Jokowi Melindungi Ahok? "
Posting Komentar