Muhammad Ali
Oleh: Ahmad Heryawan*
Hari ini, kita -masyarakat Muslim- mulai menjalankan kewajiban berpuasa. Alhamdulillah, doa-doa yang kita panjatkan pada peralihan Ramadan ke Syawal pada tahun lalu, dikabulkan Allah SWT. Kita kembali bertemu dengan bulan penuh rahmat dan kemuliaan.
Tidak semua orang yang bisa merasakan kenikmatan seperti yang kita rasakan saat ini. Ada yang dijemput ajal jauh atau mendekati Ramadan datang. Salah satunya, seperti yang sudah kita ketahui, Muhammad Ali, petinju paling fenomenal sepanjang sejarah.
Ali -nama lahirnya Cassius Marcellus Clay Jr- meninggal dunia di Phoenix, Amerika, hari Jumat yang lalu. Ali tak bisa bertemu Ramadan kembali. Tapi dia juga beruntung. Dia pergi di hari Jumat, hari terbaik dalam Islam.
Dia pergi di tengah keliling anak-anaknya. Dari cuitan anak-anaknya, kita jadi tahu betapa dramatisnya kepergian ‘Si Mulut Besar’ itu. Dramatis, tapi dalam suasana yang amat relijius. “Semua kami saling berpelukan, menciumnya, memegang tangannya sambil berdoa dalam cara Islam,” cuit Hana Ali, salah seorang putrinya.
Seluruh organ tubuhnya sudah mengalami kegagalan, kecuali hatinya selama 30 menit terakhir. Bagi anak-anaknya, itu adalah bentuk bukti kekuatan jiwa dan semangatnya. “Ayah boleh pergi sekarang. Kami akan baik-baik saja. Kami mencintai kasih sayang. Terima kasih. Pulanglah ke Tuhanmu sekarang,” bisik anak-anaknya ke kuping Ali, seperti diceritakan Hana.
Saya dan siapapun yang seangkatan dengan saya adalah orang yang mendengar, membaca, dan sebagian mungkin menyaksikan Ali di senja kariernya. Mungkin masih banyak yang belum lupa bagaimana Ali kalah TKO oleh Larry Holmes pada 2 Oktober 1980, satu-satunya kekalahan KO yang dia alami sepanjang kariernya.
Dalam perspektif olahraga, Ali adalah orang hebat. Dia disebut-sebut sebagai petinju terhebat sepanjang masa. Majalah terkenal Sports Illustrated dan stasiun BBC menobatkannya sebagai atlet terbaik abad ke-20.
Tapi, Ali tak hanya hebat dalam dunia olahraga. Sebagai pribadi, sebagai manusia, dia juga hebat. Dia mengorbankan segalanya ketika dengan berani menolak wajib militer di AS pada 1967. Gelar juaranya dicopot, dia dikenakan denda US$10 ribu, dan dipenjara selama lima tahun sebelum akhirnya dibebaskan Mahkamah Agung AS pada 1971.
“Saya tak punya urusan dengan Vietkong. Tak seorang Vietnam pun menyebut saya Negro,” tegasnya. “Perang berlawanan dengan ajaran al-Quran. Saya takkan melanggar ajaran itu. Kami takkan ambil bagian dalam perang kecuali atas perintah Allah dan Rasulullah,” tambahnya.
Ali figur kontroversial bagi kebanyakan masyarakat -dan terutama pemerintahan Amerika- pada eranya. Tapi, belakangan, tak banyak yang mengakui bahwa pemikiran-pemikirannya membawa kebenaran. Tak kurang dari Presiden Bill Clinton, Presiden George W Bush, mengakui perdamaian yang dia perjuangkan.
“Membenci orang hanya karena warna
kulitnya sebuah kesalahan. Tak peduli
warna kulit apa yang dibenci. Itu murni sebuah kesalahan,” katanya
sekali waktu. Pernyataan yang tidak rasial, tapi justru membungkam
kaum-kaum rasialis.
Tak sedikit pernyataan-pernyataan bombastis yang keluar dari mulut Ali. Karena itu dia mendapat julukan Si Mulut Besar. Sekali waktu, dia bilang begini: “Dalam tataran tinju, saya seorang astronot. Joe Louis dan Dempsey hanya sekadar pilot.”
Sombong? Di luaran, saat mempersiapkan diri menghadapi lawan, tampak seperti itu. Kerap dia menganggap lawannya kecil. Tapi di rumah, “Saya orang yang baik, tapi jangan bilang siapa-siapa,” katanya.
Salah satu pernyataan Ali yang menurut saya patut kita renungkan adalah tentang perjuangan. “Saya benci setiap menit latihan. Tapi saya bilang, ‘Jangan menyerah. Lebih baik menderita sekarang dan menikmati sisa hidup sebagai juara’,” katanya sekali waktu.
Pernyataan ini sepatutnya tidak dimaknai dalam konteks olahraga saja, tapi dalam setiap sisi kehidupan. Juga bagi masyarakat Jawa Barat yang sedang berjuang meningkatkan taraf kehidupan saat ini. Perjuangan harus dilakukan untuk apa saja, termasuk untuk menyelamatkan lingkungan.
Dalam beberapa sisi, kita sudah melewati masa di mana ‘penderitaan’ itu sudah kita lewati. Dalam tata kelola keuangan pemerintah, misalnya, perjuangan habis-habisan untuk membuat laporan pertanggungjawaban yang benar, sudah kita lakukan sejak 8-9 tahun yang lalu. Segala daya upaya kita lakukan agar uang rakyat yang digunakan untuk keperluan pemerintahan, tersalur dengan baik, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Alhamdulillah kita sudah memetik hasilnya. Jabar sudah juara. Sudah lima kali kita mendapatkan pengakuan wajar tanpa pengecualian dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jabar sudah setara dengan provinsi-provinsi lain yang pertanggungjawabannya tak perlu diragukan.
Tapi, memang ada sisi-sisi di mana kita masih harus menderita, masih harus berjuang. Tapi tidak apa-apa. Kita maknai perjuangan itu sebagai upaya agar anak-cucu kita kelak bisa menerima Jabar yang lebih baik ketika terjadi alih generasi.
Soal Citarum, umpamanya, perjuangan kita sungguh sangat berat agar bisa mengembalikan fungsinya sebagai sungai yang sesungguhnya, sebagai sumber air, bukan sebagai selokan tempat membuang sampah. Minggu lalu, kita sudah memulai dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kita libatkan saudara-saudara kita dari TNI, dari kepolisian, selain dari abdi-abdi negara di Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot seluruh Jabar.
Kita ingin dalam hal lingkungan ini, kita pun nanti akan keluar sebagai juara. Jika Ali memiliki lawan di atas ring, maka lawan masyarakat Jabar di Citarum adalah sikap mental dan perilaku siapapun yang menyepelekan keselamatan lingkungan. Apakah itu perusahaan-perusahaan yang abai terhadap limbah atau warga yang masih suka membuang sampah seenaknya ke sungai. Juga, siapapun yang membabat lingkungan di sekitar daerah aliran sungai.
Ali mengajarkan kepada kita untuk berjuang setiap menit, bahkan menahan derita atas perjuangan itu. Sebab, seperti Ali yakin, kita pun meyakini perjuangan dan penderitaan yang kita lakukan hari ini, akan bermanfaat untuk Jawa Barat ke depan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan, maaf lahir dan batin. (*)
*Sumber: inilah.com
Tak sedikit pernyataan-pernyataan bombastis yang keluar dari mulut Ali. Karena itu dia mendapat julukan Si Mulut Besar. Sekali waktu, dia bilang begini: “Dalam tataran tinju, saya seorang astronot. Joe Louis dan Dempsey hanya sekadar pilot.”
Sombong? Di luaran, saat mempersiapkan diri menghadapi lawan, tampak seperti itu. Kerap dia menganggap lawannya kecil. Tapi di rumah, “Saya orang yang baik, tapi jangan bilang siapa-siapa,” katanya.
Salah satu pernyataan Ali yang menurut saya patut kita renungkan adalah tentang perjuangan. “Saya benci setiap menit latihan. Tapi saya bilang, ‘Jangan menyerah. Lebih baik menderita sekarang dan menikmati sisa hidup sebagai juara’,” katanya sekali waktu.
Pernyataan ini sepatutnya tidak dimaknai dalam konteks olahraga saja, tapi dalam setiap sisi kehidupan. Juga bagi masyarakat Jawa Barat yang sedang berjuang meningkatkan taraf kehidupan saat ini. Perjuangan harus dilakukan untuk apa saja, termasuk untuk menyelamatkan lingkungan.
Dalam beberapa sisi, kita sudah melewati masa di mana ‘penderitaan’ itu sudah kita lewati. Dalam tata kelola keuangan pemerintah, misalnya, perjuangan habis-habisan untuk membuat laporan pertanggungjawaban yang benar, sudah kita lakukan sejak 8-9 tahun yang lalu. Segala daya upaya kita lakukan agar uang rakyat yang digunakan untuk keperluan pemerintahan, tersalur dengan baik, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Alhamdulillah kita sudah memetik hasilnya. Jabar sudah juara. Sudah lima kali kita mendapatkan pengakuan wajar tanpa pengecualian dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jabar sudah setara dengan provinsi-provinsi lain yang pertanggungjawabannya tak perlu diragukan.
Tapi, memang ada sisi-sisi di mana kita masih harus menderita, masih harus berjuang. Tapi tidak apa-apa. Kita maknai perjuangan itu sebagai upaya agar anak-cucu kita kelak bisa menerima Jabar yang lebih baik ketika terjadi alih generasi.
Soal Citarum, umpamanya, perjuangan kita sungguh sangat berat agar bisa mengembalikan fungsinya sebagai sungai yang sesungguhnya, sebagai sumber air, bukan sebagai selokan tempat membuang sampah. Minggu lalu, kita sudah memulai dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kita libatkan saudara-saudara kita dari TNI, dari kepolisian, selain dari abdi-abdi negara di Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot seluruh Jabar.
Kita ingin dalam hal lingkungan ini, kita pun nanti akan keluar sebagai juara. Jika Ali memiliki lawan di atas ring, maka lawan masyarakat Jabar di Citarum adalah sikap mental dan perilaku siapapun yang menyepelekan keselamatan lingkungan. Apakah itu perusahaan-perusahaan yang abai terhadap limbah atau warga yang masih suka membuang sampah seenaknya ke sungai. Juga, siapapun yang membabat lingkungan di sekitar daerah aliran sungai.
Ali mengajarkan kepada kita untuk berjuang setiap menit, bahkan menahan derita atas perjuangan itu. Sebab, seperti Ali yakin, kita pun meyakini perjuangan dan penderitaan yang kita lakukan hari ini, akan bermanfaat untuk Jawa Barat ke depan.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan, maaf lahir dan batin. (*)
*Sumber: inilah.com
0 Response to ""Muhammad Ali" Oleh: @aheryawan "
Posting Komentar