Gibran Rakabuming Raka (sumber: bintang.com)
Baru-baru ini saya menonton acara konferensi pers yang dilakukan oleh pasangan yang sedang booming,
 Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda. Tentu tak perlu dipertanyakan 
lagi alasannya. Gibran adalah putra pertama presiden RI ke tujuh, Joko 
Widodo. Pernikahan ini jadi objek pemberitaan yang cukup masif semenjak 
Gibran dikabarkan akan menikahi pemenang Putri Solo 2009 itu akhir Juni 
nanti.
Pasca penampilan perdana pasangan tersebut di depan
 awak media, lini massa jejaring sosial langsung bereaksi. Ada yang 
mengucapkan selamat dan mendoakan kesuksesan pernikahan tersebut, tapi 
secara kuantitas, suara sumbang dan protes netizen nampaknya lebih mendominasi. Sebabnya, dalam konferensi pers kita bisa melihat gesture
 dan mimik wajah Gibran yang tampak tak bersahabat, dingin dan terkesan 
jutek saat para jurnalis membanjiri keduanya dengan lampu flash kamera dan bertumpuk tanya.
Selvi, si calon istri, sepertinya jauh lebih ramah pada kamera dan microphone
 di genggamannya. Mungkin 90% pertanyaan yang disampaikan wartawan ludes
 dijawab Selvi dan Iriana, Ibu Gibran. Saya cuma mendengar Gibran 
menjawab singkat tentang “mesin ketik yang ada maknanya” dan ketika 
wartawan bertanya apa arti di balik mesin tik pink itu, lagi-lagi Gibran
 hanya menjawab singkat: “rahasia”.
Secara subjektif, saya memang melihat gerak tubuh 
dan mimik wajah Gibran tampak kurang  nyaman dan tak suka dengan 
kerumunan wartawan yang mengorek jawaban dari dirinya dan keluarga. 
Bahkan saya tak membantah jika komunikasi nonverbal yang ditampilkan 
oleh Gibran agak terkesan arogan.
Tapi, saya seperti bisa memaklumi alasan di balik tampang angkuh dan tak bersahabat pengusaha muda kelahiran 1 Oktober 1987 itu.
Mari flashback ke masa pemilihan umum 
presiden beberapa waktu yang lalu. Kita bisa menyaksikan bagaimana 
pertarungan kedua kubu capres untuk memperebutkan tampuk kekuasaan 
tertinggi lembaga eksekutif negeri ini berlangsung sangat keras dan 
panas, bahkan menjurus ke hal-hal yang tak pantas, salah satu bukti 
adalah suburnya praktik black campaign.
Sempat ada survei yang coba memetakan kuantitas 
atau jumlah serangan kampanye hitam yang menyerang kedua sosok presiden.
 Dan ternyata, Jokowi sukses jadi “pemenang” dalam survei yang dihelat 
Politicawave itu. Hasilnya mencengangkan, pasangan Jokowi-JK mendapat 
persentase sasaran kampanye hitam hingga 94,9%.
“Jenis-jenis kampanye hitam (yang menyerang Jokowi)
 berupa isu suku, ras, agama, pemalsuan surat ke Kejaksaan Agung, iklan 
kematian terhadap Jokowi, dan lain-lain,” kata pendiri Politicawave, 
Yose Rizal, seperti dikutip dari beritasatu.com.
Kampanye hitam yang membombardir Jokowi juga sampai
 ke telinga anak sulungnya, Gibran. Pemilik usaha ketring Chilli Pari 
itu pun nampaknya tak terima. Bukan apa-apa, salah satu kampanye hitam 
yang menyerang Joko Widodo sempat menghembuskan kabar kalau Gibran 
Rakabuming Raka bukanlah putra Jokowi, melainkan hanya anak haram!
Kekesalan Gibran nampak jelas ketika pertama kali 
ia diperkenalkan di depan awak media oleh Ayahnya yang akan dilantik di 
gedung MPR/DPR RI, 20 Oktober 2014 lalu. Gibran langsung berkata 
ketus, “saya bukan pengangguran. Saya punya kerjaan. Kalau saya ikut 
Bapak terus, berarti saya pengangguran. Saya kan kerja, saya sempat 
dikatain anak haram karena tak pernah ikut kampanye. Kalian (media) 
lihat aktivitas saya sendiri, kalau saya sibuk karena kerjaan. Ini biar 
jelas, wong saya punya pekerjaan. Kemaren ada media 
tak jelas nyebut saya anak haram. Saya kerja dari pagi sampai pagi lagi,
 jadi tak ada waktu buat ikut bapak saya terus.”
Semenjak itu, saya semakin jarang melihat Gibran 
tampil di depan media. Ia seakan menutup diri dari cecaran pewarta. 
Padahal ketika Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Gibran tampak
 lebih ramah dan mau bercuap-cuap ketika diwawancarai. Misalnya saja 
ketika aktifitasnya sebagai pengusaha diliput oleh portal berita online
 merdeka.com atau koran di kampungnya, Solo Pos, yang memberitakan kisah
 hidup pria yang pernah mengenyam pendidikan di Singapura ini. Kalimat 
yang Gibran sampaikan terbaca normal, kooperatif dan tentunya, lebih 
panjang.
Sekarang sikap Gibran nampak berubah 180 derajat. 
Mungkinkah Gibran bersikap defensif dan berusaha menghindar dari 
“cabikan” tinta jurnalis yang terkenal sadis?
Entahlah, yang pasti, saya yakin sikap “arogan” 
Gibran tidak berasal dari statusnya sebagai anak dari orang nomor satu 
di negeri ini. Memang, kesombongan mudah kita temui dari individu yang 
“kebetulan” terlahir dengan orang tua berpengaruh—tapi saya pikir, 
Gibran bukanlah salah satu di antaranya.
Alasannya? Gibran pernah menyebut jika usaha 
kateringnya ia rintis sendiri, tanpa bantuan modal dari orang tua. Ia 
berjuang dengan mengandalkan dana pinjaman dari bank, itu pun jumlahnya 
tak sesuai dengan yang ia harapkan. Setelah besar dan jadi usaha yang 
punya nama di Solo, ia dengan tegas menolak bekerja sama dengan Pemkot 
Solo saat Ayahnya menjabat walikota di sana. Ia tak ingin bisnisnya 
terkontaminasi politik dan menolak nepotisme sebagai unsur 
kesuksesannya. Gibran baru mau menjalin hubungan bisnis dengan 
pemerintah kota Solo setelah Ayahnya tak lagi memiliki jabatan di 
Surakarta.
Saya lebih menerima alasan di balik sikap dingin 
dan arogan Gibran karena pengalaman buruknya dengan media di masa lalu. 
Memang, fitnah yang diterima Gibran sangat menyakitkan. Namun itu sudah 
jadi risiko “wajib” yang akan diterima para public figure 
sehingga dibutuhkan manajemen emosi dan kemampuan ‘bermanis-manis’ di 
hadapan media agar tetap terbentuk citra diri positif di depan publik.

0 Response to "Gibran “Benci” Wartawan?"
Posting Komentar