Sabtu, 20 Februari 2016 / 18:34 WIB
BANDUNG.
Dalam dua bulan berturut-turut di tahun ini, Bank Indonesia (BI) telah
menurunkan tingkat suku bunganya (BI rate) sebanyak dua kali.
Langkah BI dipandang oleh sebagian pihak sebagai kebijakan bank sentral dalam merespons berbagai tekanan yang diberikan pemerintah.
Asumsi ini muncul lantaran dalam berbagai kesempatan sebelum penurunan BI rate itu dilakukan, pemerintah selalu meminta BI untuk menurunkan suku bunganya. Pemerintah berharap banyak agar BI membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Belum lagi, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Januari pemerintah turut hadir untuk pertama kalinya. Dalam RDG itu pula, BI akhirnya memutuskan untuk menurunkan BI rate.
Sejatinya, "teror" pemerintah terhadap BI mulai terlihat pada pertengahan tahun 2015. Ketika itu, pemerintah meminta BI untuk menurunkan BI rate. Namun, ya itu tadi, BI baru mengambil keputusan tersebut pada Januari dan Februari 2016 dengan menurunkan BI rate masing-masing sebesar 25 basis points (bps) pada periode tersebut.
Penurunan BI rate membuat arah kebijakan moneter BI berubah dari tightening monetary policy menjadi lebih longgar. Namun, kebijakan BI tersebut, juga mengandung beberapa risiko yang harus dihadapi.
Toh, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Solikin M Juhro menegaskan, semua kebijakan BI (dalam menurunkan BI rate) bukan atas desakan pemerintah.
"Kebetulan kami memiliki cara pandang yang sama melihat masalah," kata Solikin di Bandung, Sabtu (20/2) .
Selain itu, lanjut dia, signal pelonggaran moneter sebetulnya sudah menjadi kebijakan BI sejak pertengahan tahun lalu.
Bahkan, eksekusinya sudah dilakukan pada bulan November 2015, yakni dengan menurunkan tingkat giro wajib minimum (GWM) primer sebesar 50 bps dari 8% menjadi 7,5%.
Cuma, kata Solikin, ketika itu pelonggaran moneter tidak bisa langsung dilakukan. Tapi, harus melalui tahapan-tahapan, sehingga prosesnya berjalan smooth dan lebih gradual. Intinya, BI harus melihat kesiapan pasar dalam mersepons kebijakan.
BI mengakui, kalau pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu hal yang penting untuk dijaga. Nah, kebijakan moneter salah satu alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Alhasil, keyakinan BI untuk menurunkan suku bunga muncul ketika ada signal ruang pelonggaran yang semakin terbuka pada Januari 2016. Ini, setelah ada data yang menunjukkan bahwa laju inflasi Indonesia cukup rendah pada 2015.
Pelonggaran moneter kembali diperlebar BI pada Februari sejalan adanya signal Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), tidak akan menaikkan suku bunga acuannya lebih lama dari yang diperkirakan. Tingkat kenaikannya juga lebih rendah.
Kedepan, BI melihat ruang untuk terjadinya pelonggaran kembali masih sangat terbuka. Dengan catatan, laju inflasi tetap terjaga dan tekanan terhadap nilai tukar terus berkurang.
Langkah BI dipandang oleh sebagian pihak sebagai kebijakan bank sentral dalam merespons berbagai tekanan yang diberikan pemerintah.
Asumsi ini muncul lantaran dalam berbagai kesempatan sebelum penurunan BI rate itu dilakukan, pemerintah selalu meminta BI untuk menurunkan suku bunganya. Pemerintah berharap banyak agar BI membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Belum lagi, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Januari pemerintah turut hadir untuk pertama kalinya. Dalam RDG itu pula, BI akhirnya memutuskan untuk menurunkan BI rate.
Sejatinya, "teror" pemerintah terhadap BI mulai terlihat pada pertengahan tahun 2015. Ketika itu, pemerintah meminta BI untuk menurunkan BI rate. Namun, ya itu tadi, BI baru mengambil keputusan tersebut pada Januari dan Februari 2016 dengan menurunkan BI rate masing-masing sebesar 25 basis points (bps) pada periode tersebut.
Penurunan BI rate membuat arah kebijakan moneter BI berubah dari tightening monetary policy menjadi lebih longgar. Namun, kebijakan BI tersebut, juga mengandung beberapa risiko yang harus dihadapi.
Toh, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Solikin M Juhro menegaskan, semua kebijakan BI (dalam menurunkan BI rate) bukan atas desakan pemerintah.
"Kebetulan kami memiliki cara pandang yang sama melihat masalah," kata Solikin di Bandung, Sabtu (20/2) .
Selain itu, lanjut dia, signal pelonggaran moneter sebetulnya sudah menjadi kebijakan BI sejak pertengahan tahun lalu.
Bahkan, eksekusinya sudah dilakukan pada bulan November 2015, yakni dengan menurunkan tingkat giro wajib minimum (GWM) primer sebesar 50 bps dari 8% menjadi 7,5%.
Cuma, kata Solikin, ketika itu pelonggaran moneter tidak bisa langsung dilakukan. Tapi, harus melalui tahapan-tahapan, sehingga prosesnya berjalan smooth dan lebih gradual. Intinya, BI harus melihat kesiapan pasar dalam mersepons kebijakan.
BI mengakui, kalau pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu hal yang penting untuk dijaga. Nah, kebijakan moneter salah satu alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Alhasil, keyakinan BI untuk menurunkan suku bunga muncul ketika ada signal ruang pelonggaran yang semakin terbuka pada Januari 2016. Ini, setelah ada data yang menunjukkan bahwa laju inflasi Indonesia cukup rendah pada 2015.
Pelonggaran moneter kembali diperlebar BI pada Februari sejalan adanya signal Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), tidak akan menaikkan suku bunga acuannya lebih lama dari yang diperkirakan. Tingkat kenaikannya juga lebih rendah.
Kedepan, BI melihat ruang untuk terjadinya pelonggaran kembali masih sangat terbuka. Dengan catatan, laju inflasi tetap terjaga dan tekanan terhadap nilai tukar terus berkurang.
0 Response to "Kebijakan moneter, tekanan politik atau terencana?"
Posting Komentar