Konsulat Kehormatan RI di Ramallah (Palestina) dan Konsekuensinya


Penulis: Arya Sandhiyudha
(Penyeksama Politik Internasional, Kandidat Doktor, Fatih Univ. Turki)

Presiden RI Jokowi, 7 Maret 2016 memberikan Pidato dalam Pembukaan KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina dan Al-Quds Asy-Syarif. Dalam pertemuan tersebut Presiden menyampaikan bahwa Indonesia telah menunjuk Nyonya Maha Abou Susheh selaku Konsul Kehormatan RI untuk Palestina, serta dalam waktu dekat akan meresmikan Konsulat Kehormatan RI di Ramallah, Palestina.

Ini merupakan sejarah baru, sekaligus kelanjutan dari proses yang telah berlangsung cukup panjang. Setidaknya merupakan kelanjutan inisiasi Menlu RI yang di sela-sela kegiatan Bali Democracy Forum (BDF) III, 10 Desember 2010, lalu menyampaikan kepada Menlu Palestina H.E. Riyadh Maliki ide peningkatan hubungan RI-Palestina melalui pembentukan foothold di Palestina berupa misi diplomatik di Ramallah. Gagasan tersebut sejatinya bukan hal yang baru bagi negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Maroko dan Tunisia. Akan tetapi, permasalahannya, ketika kini Indonesia baru mengajukannya pasca peristiwa Intifadah 1983, situasinya memiliki beberapa konsekuensi yang perlu dengan jeli diperhatikan.

Artinya, Indonesia perlu memerhatikan sepenuhnya agar pembukaan misi diplomatik atau konsuler Indonesia di Palestina ini tidak akan merugikan posisi polugri (politik luar negeri) RI.

Dalam hal ini, secara faktual, perwakilan asing untuk Palestina dapat dibedakan menjadi 3 bentuk perwakilan, bergantung pada tingkat pengakuan negara pengirim terhadap Palestina:

PERTAMA, Negara dan Perwakilan yang memiliki REPRESENTATIVE OFFICE berkedudukan di Palestina, jumlahnya hingga kini sebanyak 35 negara dan 1 Perwakilan Uni Eropa.

Afrika Selatan, Argentina, Australia, Austria, Belanda, Brazil, Bulgaria, Chile, Cina, Ceko, Denmark, Finlandia, Hungaria, India, Irlandia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Malta, Maroko, Mesir, Meksiko, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Siprus, Slovenia, Sri Lanka, Swiss, Russia, Tunisia, Ukraina, Venezuela, Yordania.

Dari negara-negara tersebut, 2 (dua) negara di antaranya, Maroko dan Tunisia, tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Namun, sebagai respon atas pembukaan kantor perwakilan Maroko dan Tunisia tersebut -pasca dinamika intifadah 1983- pihak Israel meningkatkan pengetatan syarat dengan menagih asas resiprositas dan menunjuk Liaison Officer (LO) untuk ditempatkan di Maroko dan Tunisia. Akhirnya, Israel memiliki kantor perwakilan di kedua negara tersebut, meskipun Israel dalam perkembangan politik terakhir, telah menarik LO-nya di kedua negara tersebut.

Maka, hadirnya asas resiprositas dalam bentuk prasyarat persetujuan Israel bagi pendirian kantor perwakilan RI di Ramallah saat ini perlu dipertimbangkan.

KEDUA, negara yang memiliki Kedubes (Kedutaan Besar) di negara-negara sekitar dengan akreditasi tambahan Palestina. Terdapat 13 negara yaitu: Bangladesh (Amman), Dominika (Kairo), Filipina (Amman), Korea Utara (Kairo), Kuba (Kairo), Malawi (Kairo), Mali (Kairo), Pakistan (Amman), Selandia Baru (Ankara), Uni Emirat Arab (Amman), Vietnam (Kairo), Zambia (Kairo), serta Indonesia selama ini juga termasuk dalam 13 negara ini melalui KBRI Amman.

KETIGA, negara-negara yang membuka kantor Konsulat Jenderal atau Konsulat di Yerusalem di bawah Kedubes mereka di Tel Aviv. Konjen atau Konsulat ini tidak berfungsi sebagai misi diplomatik untuk Palestina dan tidak menyerahkan credentials kepada Palestinian National Authority (PNA). Namun lingkup pekerjaan Konjen dan Konsulat tersebut termasuk melakukan kontak-kontak dengan PNA dan PLO. Negara-negara yang memiliki Konjen atau Konsulat di Yerusalem sebanyak 10 negara yakni AS, Belgia, Inggris, Italia, Perancis, Spanyol, Swedia, Vatikan, Yunani, dan Turki.

Dalam kaitan itu, pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI pada tanggal 21 Januari 2011 (era SBY -red), Menlu RI didesak untuk memperhatikan dengan seksama berbagai konsekuensi terkait rencana Pemerintah dalam membuka kantor perwakilan RI di Palestina. Dengan beragam pertimbangan untuk tidak merugikan posisi dan prinsip Polugri RI, akhirnya, Presiden RI memilih bentuk perwakilan konsul kehormatan di Ramallah.

Langkah Indonesia ini sebenarnya menarik, karena secara faktual hingga saat ini belum ada satu pun perwakilan diplomatik resmi asing dari negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, seperti kasus Indonesia ini.

Pada tanggal 21 April 2015, di sela-sela Peringatan ke-60 KAA, dalam pertemuan bilateral antara Presiden RI dengan Perdana Menteri Palestina, Dr. Rami Hamdallah, PM Palestina menyampaikan bahwa pihaknya menyetujui inisiatif Indonesia untuk membuka Konsul Kehormatan di Palestina.

Kemudian, pada tanggal 27 Mei 2015, di sela-sela menghadiri KTM OKI ke-42 di Kuwait, Menlu RI telah melaksanakan pertemuan bilateral dengan Menlu Palestina, Dr. Riyad Malki di Istana Bayan, Kuwait. Dalam pertemuan tersebut, hal pokok yang disampaikan oleh Menlu RI adalah tindak lanjut penunjukan/pengangkatan dan pembukaan Konsul Kehormatan RI di Ramallah.

Hal yang menjadi potensi kontroversi ke depan dan perlu dikaji mendalam adalah, apabila pengangkatan Konsul Kehormatan tersebut menjadi langkah gradual sebelum pembukaan kantor Perwakilan RI pada tingkat Kedubes secara penuh yang berkonsekuensi pada prasyarat persetujuan pemerintah Israel, asas resiprositas, hingga pengiriman LO Israel untuk Indonesia. Berbeda halnya apabila, pengangkatan Konsul Kehormatan ini berfokus pada cita-cita utamanya memerdekakan Palestina.

Dalam perkembangannya, Menlu Palestina menyampaikan bahwa semua proses termasuk peresmian kantor oleh pejabat Pemerintah RI tetap harus melalui Pemerintah Israel, namun diurus oleh Otoritas Palestina, tanpa perlu bagi Pemerintah RI untuk berhubungan dengan pemerintah Israel.

Berdasarkan hasil wawancara KBRI Amman dengan ketiga calon Konsul Kehormatan dan pertimbangan lainnya, diputuskanlah oleh Pemerintah RI: Ny. Maha Abu Shusheh sebagai calon Konsul Kehormatan RI berkedudukan di Ramallah (Palestina). Dalam kaitan ini, Pemerintah RI telah mengeluarkan persetujuan pengangkatan Ny. Maha Abu Shusheh sebagai Konsul Kehormatan RI Ramallah melalui Keppres No. 172/M tahun 2015 tanggal 21 Desember 2015 tentang Pengangkatan Konsul Kehormatan RI di Ramallah, Negara Palestina. Selain itu, Surat Tauliah pengangkatan Ny. Maha Abu Shusheh juga telah ditandatangani Presiden tanggal 23 Desember 2015.

Semua pihak patut bersyukur terhadap perkembangan ini, sekaligus terus merawat kepekaan terhadap cita-cita konstitusional agar keberadaan Konsulat Kehormatan RI di Ramallah benar-benar dapat menjadi foothold Indonesia di Palestina, serta memberikan dukungan konkret RI atas perjuangan kemerdekaan Palestina.

Selain itu, keberadaan Konsul Kehormatan RI di Ramallah dapat memajukan hubungan ekonomi dan perdagangan, pendidikan, people-to-people contact dan pariwisata antar kedua negara.

Konsul Kehormatan RI di Ramallah nantinya juga perlu untuk terus dikawal agar berfungsi optimal untuk membantu WNI yang mengalami masalah di wilayah tersebut, memberikan masukan mengenai kerja sama ekonomi dengan berkoordinasi dengan Perwakilan RI lainnya, serta meskipun berada di Ramallah dituntut imparsial tetap memfasilitasi misi kemanusiaan Indonesia yang mengalir ke Palestina terutama Gaza yang sangat terisolasi.[]

Sumber: http://www.renovasinegeri.com/konsulat-kehormatan-ri-di-ramallah/

0 Response to "Konsulat Kehormatan RI di Ramallah (Palestina) dan Konsekuensinya"

Posting Komentar