![]()  | 
| Presiden Jokowi di Bandara Halim Perdana Kusuma | 
 
Berita yang cukup hangat diperbincangkan dalam 
salah satu WAG pekan ini, menyangkut kekalahan Pusat Koperasi TNI AU 
mengadapi perusahaan penerbangan Lion Air.
Atas kekalahan itu Lion Air, sebuah perusahaan penerbangan swasta, kini menjadi penguasa di bandara Halim Perdana Kusumah.
Yang disoroti, mengapa Koperasi TNI AU yang merupakan bagian 
representasi dari matra pertahanan udara Indonnesia, bisa dikalahkan 
oleh sebuah perusahaan swasta ? Kekalahan ini dianggap tidak patut, 
tidak wajar dan aneh tentunya.
Sebab institusi TNI AU merupakan sebuah lembaga yang memiliki tugas 
membela bangsa negara. Kehadirannya di Halim PK, bukan karena TNI ingin 
mengembangkan bisnis. Melainkan menjaga kedaulatan Indonesia lewat 
sistem pertahanan udara dan Halim merupan markas utamanya.
Dengan terusirnya TNI AU dari Halim, hal itu tentu saja menimbulkan persoalan baru.
Di lain pihak kalangan TNI AU sendiri adem ayem saja. Tidak merasa 
kehilangan atas aset yang sangat berharga. Namun terhadap rencana 
pemerintah yang menggunakan sebagian lahan Halim untuk stasiun kereta 
api cepat Bandung - Jakarta, KSAU-nya justru melawan keputusan 
pemerintah.
Adalah Prof.Dr.Sri Edi Swasono, guru besar Universitas Indonesia dan 
anak mantu Proklamator Bung Hatta yang cukup sengit. Ia mengirim pesan 
viral kepada semua grup WAG untuk mendapatkan nomor kontak Cheppy Hakim.
Kepada mantan Kepala Staf Angkatan Udara kini, Sri Edi Swasono meminta 
Cheppy Hakim mempelopori aksi perebutan bandara Halim Perdana Kusumah 
dengan cara halus maupun kasar dari tangan Lion Air.
Cheppy dipilih sebab nampaknya tinggal dia perwira TNI AU yang sekalipun
 sudah pensiun tapi masih tetap peduli pada persoalan-persoalan bangsa.
Yang tersirat dari munculnya reaksi penentangan atas berkuasanya Lion 
Air di Halim Perdana Kusumah adalah negara ini (RI), otoritas penguasa 
di republik ini sudah sangat rentan oleh godaan uang sogokan. Ada 
kecurigaan Halim bisa berpindah tangan ke swasta karena soal uang 
gratifikasi.
Hanya memang siapa yang menyogok serta siapa yang menerima sogok, itulah persoalan lain yang sangat mengganggu.
Yang pasti tanpa sogokan, mustahil kepemilikan Bandara Halim bisa berpindah tangan dengan mudah - dari pemerintah ke swasta.
Makna lain dari reaksi penentangan ini, adanya kecurigaan pada lembaga 
hukum dan penegak hukum. Begitu lemahnya kepedulian lembaga hukum 
menghadapi hegemoni perusahaan raksasa kaliber Lion Air.
Perusahaan ini disebut perusahaan raksasa. Karena faktor kapitalisasi dan pemiliknya.
Rusdi Kirana, yang disebut-sebut pemiliknya, kini salah seorang angota 
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) disebut sebagai sebuah 
perusahaan raksasa. Tahun 2014 dia masuk jadi pengurus Partai 
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dilabeli raksasi, sebab Lion Air satu-satunya perusahaan penerbangan 
swasta di Indonesia yang mampu membeli atau memesan lebih dari 400 buah 
unit pesawat baru.
Pembelian atas pesawat baru ini cukup bersifat "high profile dan show 
off". Pemesanan itu cukup mengejutkan. Sebab untuk pembelian 230 unit 
dari fabrikan milik Amerika Serikat, Boeing, penanda-tangannya 
disaksikan langsung oleh dua presiden. Barack Obama dan Susilo Bambang 
Yudhoyono. Sememntara penanda-tangannya yang dilakukan Nopember tahun 
2012 itu dilakukan di Bali, di tengah berlangsungnya KTT G-20.
Sehingga pemiliki Lion Air, Rusdi Kirana mendapat ekspose secara luar biasa dalam sisi bisnis dan diplomasi.
Semenjak itu Lion Air plus Rusdi Kirana-nya menjadi salah satu aset yang
 diperhitungkan dan mungkin lebih tinggi dibanding dengan TNI AU.
Ekspose tentang Lion Air dan kebesaran Rusdi Kirana tidak berhenti di 
situ saja. Sebab transaksi dengan Boeing itu dianggap melanggara 
ketentuan dalam perdagangan bebas.
Uni Eropa memprotesnya. Terutama hadirnya Presiden Obama dalam acara 
penanda-tangan transaksi, yang seolah menjadi pendukung perusahaan 
swasta Boeing.
Tapi sorotan ini dengan cepat mereda. Sebab pada 18 Maret 2013, Lion Air
 dan Airbus, perusahaan pembuat pesawat yang bermarkas di Touluse, 
Prancis mengumumkan kesepakatan baru. Bahwa Lion Air telah memesan 234 
unit Airbus.
Jika kondisi ini dipahami, memang sangat logis bila Lion Air memerlukan 
bandara tersendiri. Dan yang sudah tersedia di depan mata mungkin hanya 
Halim Perdana Kusumah saja.
Akan tetapi sorotan lain yang tak terucapkan sebetulnya adalah benarkah 
Lion Air sebagai sebuah perusahaan penerbangan swasta milik pengusaha 
Indonesia Rusdi Kirana?
Secara bisik-bisik cukup banyak yang meragukan fakta tersebut. Sebab 
sejumlah kalangan yang mengaku kenal rekam jejak pebisnis Rusdi Kirana, 
selalu menyebut bahwa Kirana memang bergerak di bisnis travel biro. Tapi
 kalau latar belakang itu yang dijadikan rujukan, jelas kekayaan Rusdi 
Kirana tak akan bisa membeli 461 unit pesawat dalam waktu yang hampir 
bersamaan.
Kecurigaan malah mengarah ke negara tetangga. Bahwa Lion Air sebetulnya 
dibiayai atau dimiliki oleh Singapura. Kecurigaan itu antara lain dengan
 melihat nama yang digunakan : "Lion" yang nota bene sama dengan simbol 
Singapura.
Walahualam Bro and Sis.[rmol]
Penulis: Derek Manangka

0 Response to " Pertahanan Udara RI Dikalahkan Swasta, TNI AU Diusir oleh Lion Air dari Bandara Halim Perdana Kusuma"
Posting Komentar