Sabtu, 11 April 2015 08:32
Merdeka.com - Hari sudah mulai petang, azan Magrib pun sudah
selesai berkumandang. Namun Sutriyani (23) belum juga kunjung pulang.
Sang ibu, Tukilah duduk di kursi depan rumah ditemani cahaya lampu yang
remang, menunggu anaknya itu pulang.
Sekitar pukul 19.00 WIB, suara motor Sutriyani terdengar masuk ke jalan setapak ke arah rumahnya. Begitu memarkir motornya, dia langsung mendatangi ibunya. Keringat di wajah pun masih tampak.
"Perjalanan satu jam ini tadi dari pelanggan terakhir," ujar Tri, begitu sapaan akrabnya.
Tri adalah salah satu dari sekian banyak sarjana di Indonesia yang berharap bisa memperbaiki nasib dengan ijazahnya. Lulus dengan IPK 3,49 di jurusan pendidikan Fisika, Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dalam waktu 3,5 tahun, tidak lantas membuat Tri bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan gelarnya yang disandangnya.
"Pengennya kerja yang sesuai, tapi jualan jamu juga enggak apa-apa, saya enggak malu. Saya anggap ini proses, semakin sulit, hasilnya nanti semakin baik," ungkapnya.
Mulanya tidak terpikir dalam benak Tri untuk menjadi penjual jamu seperti ibunya. Setelah lulus kuliah pada Juni 2014 lalu, dia sudah mengirimkan puluhan lamaran pekerjaan, namun nihil. Belum satu pun perusahaan yang menerimanya.
"Saya pernah jualan nasi goreng, ikut orang, kerja di kantor pos, lamar pekerjaan di sana-sini. Pernah juga ditipu, dapat pemberitahuan dapat pekerjaan, tapi ujung-ujungnya dimintain uang," ujarnya.
Setelah banyak pengalaman sejumlah pengalaman pahit mencari pekerjaan, Tri pun memutuskan untuk jualan jamu seperti ibunya. Biasanya Tri berangkat jualan jamu mulau pukul 09.00 pagi hingga siang. Namun sejak beberapa hari lalu dia menggantikan ibunya jualan jamu sore hingga malam hari.
"Ini sekarang dua shif, jam 09.00 berangkat, jam 13.00 sudah pulang, nunggu jamu rampung dimasak satu jam sambil istirahat, terus jam 14.00 sampai malam begini," jelasnya.
Meski melanjutkan profesi ibunya, tapi Tri tidak mau hanya mengandalkan langganan ibunya saja. Dia menyusuri kampung-kampung di daerah selatan Bantul dan mencari pelanggan baru.
"Saya tidak mau hanya nerusin ibu, saya cari pelanggan baru, biar saya ini ada usaha juga, enggak sekedar meneruskan ibu," tandasnya.
Jika ada kesempatan, Tri sebenarnya ingin menjadi guru. Dia ingin ilmu yang dipelajarinya di bangku kuliah bisa berguna bagi orang lain.
"Pemerintah seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak, ini kan tanggung jawab mereka. Kalau pengennya saya ngajar, kalau ada beasiswa lanjut studi saya pun mau banget," pungkasnya.
Baca juga:
Jadi sarjana tapi jualan jamu, Satriyani kerap dicibir tetangga
Dua orang ini tertembak 9 kali dan masih hidup hingga kini
Kisah Maurice, mualaf yang bertahan setelah ditembus 9 peluru
Kisah Kapten Kostrad jadi juara baca Alquran di Papua
Kisah haru anggota TNI yang penuhi nazar di makam ayahnya
Kaki diamputasi, pendaki ini justru lebih sukses dengan kaki robot
Sekitar pukul 19.00 WIB, suara motor Sutriyani terdengar masuk ke jalan setapak ke arah rumahnya. Begitu memarkir motornya, dia langsung mendatangi ibunya. Keringat di wajah pun masih tampak.
"Perjalanan satu jam ini tadi dari pelanggan terakhir," ujar Tri, begitu sapaan akrabnya.
Tri adalah salah satu dari sekian banyak sarjana di Indonesia yang berharap bisa memperbaiki nasib dengan ijazahnya. Lulus dengan IPK 3,49 di jurusan pendidikan Fisika, Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dalam waktu 3,5 tahun, tidak lantas membuat Tri bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan gelarnya yang disandangnya.
"Pengennya kerja yang sesuai, tapi jualan jamu juga enggak apa-apa, saya enggak malu. Saya anggap ini proses, semakin sulit, hasilnya nanti semakin baik," ungkapnya.
Mulanya tidak terpikir dalam benak Tri untuk menjadi penjual jamu seperti ibunya. Setelah lulus kuliah pada Juni 2014 lalu, dia sudah mengirimkan puluhan lamaran pekerjaan, namun nihil. Belum satu pun perusahaan yang menerimanya.
"Saya pernah jualan nasi goreng, ikut orang, kerja di kantor pos, lamar pekerjaan di sana-sini. Pernah juga ditipu, dapat pemberitahuan dapat pekerjaan, tapi ujung-ujungnya dimintain uang," ujarnya.
Setelah banyak pengalaman sejumlah pengalaman pahit mencari pekerjaan, Tri pun memutuskan untuk jualan jamu seperti ibunya. Biasanya Tri berangkat jualan jamu mulau pukul 09.00 pagi hingga siang. Namun sejak beberapa hari lalu dia menggantikan ibunya jualan jamu sore hingga malam hari.
"Ini sekarang dua shif, jam 09.00 berangkat, jam 13.00 sudah pulang, nunggu jamu rampung dimasak satu jam sambil istirahat, terus jam 14.00 sampai malam begini," jelasnya.
Meski melanjutkan profesi ibunya, tapi Tri tidak mau hanya mengandalkan langganan ibunya saja. Dia menyusuri kampung-kampung di daerah selatan Bantul dan mencari pelanggan baru.
"Saya tidak mau hanya nerusin ibu, saya cari pelanggan baru, biar saya ini ada usaha juga, enggak sekedar meneruskan ibu," tandasnya.
Jika ada kesempatan, Tri sebenarnya ingin menjadi guru. Dia ingin ilmu yang dipelajarinya di bangku kuliah bisa berguna bagi orang lain.
"Pemerintah seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan yang banyak, ini kan tanggung jawab mereka. Kalau pengennya saya ngajar, kalau ada beasiswa lanjut studi saya pun mau banget," pungkasnya.
Baca juga:
Jadi sarjana tapi jualan jamu, Satriyani kerap dicibir tetangga
Dua orang ini tertembak 9 kali dan masih hidup hingga kini
Kisah Maurice, mualaf yang bertahan setelah ditembus 9 peluru
Kisah Kapten Kostrad jadi juara baca Alquran di Papua
Kisah haru anggota TNI yang penuhi nazar di makam ayahnya
Kaki diamputasi, pendaki ini justru lebih sukses dengan kaki robot
[tyo]
0 Response to "Cerita sarjana Fisika ber-IPK 3,49 tak malu jadi penjual jamu"
Posting Komentar