Rabu, 3 Februari 2016 08:16
- Pada usia sepuluh tahun Mizba Ahmed dan
keluarganya mengungsi dari Myanmar. Mereka takut menghadapi konflik
sektarian di kampung halaman.
Bocah perempuan itu tidak pernah menyangka, kapal penyelundup yang dia tumpangi dengan tujuan Australia, bukannya akan memberinya harapan hidup yang lebih baik di masa datang, tapi justru membuatnya dipenjara selama 18 bulan di sebuah pulau terpencil di Pasisifk, Pulau Nauru.
"Nauru adalah tempat paling buruk yang pernah saya lihat sebagai anak-anak," ujar bocah 12 tahun itu, seperti dilansir stasiun televisi CNN, pekan lalu.
Puluhan anak seperti Mizba ditahan di pulau itu selama berbulan-bulan, bahkan tahunan di pulau seluas hanya 21 kilometer persegi itu.
CNN mewawancarai sejumlah anak mantan penghuni Pulau Nauru yang menggambarkan tempat mereka sebagai penjara. Anak-anak itu harus hidup di balik pagar pembatas. Mereka digeledah selama akan masuk atau keluar dari kamp, bahkan ketika mereka pergi ke sekolah. Mereka merasa diintimidasi dan dilecehkan oleh para penjaga. Tapi yang paling anak-anak pengungsi itu rasakan adalah keputusasaan akan masa depan yang lebih baik.
"Punya impian untuk masa depan yang oebih baik bukanlah kejahatan. Tapi kami diperlakukan layaknya tahanan," kata remaja perempuan 18 tahun yang tidak mau identitasnya diketahui.
bocah pengungsi di pulau nauru CNN
Eropa saat ini tengah menghadapi krisis pengungsi dari Timur Tengah yang datang berbondong-bondong menggunakan perahu atau kapal penyelundup. Australia sudah sejak lama menerapkan kebijakan kontroversial dalam menangani para pengungsi. Negeri Kanguru itu tidak segan-segan menyetop kapal pengungsi dan menyuruh mereka kembali atau ditahan di sebuah pulau terpencil di Pasifik.
Dalam kurun 2007 hingga 2013 pemerintah Australia mengatakan sedikitnya 1.200 pengungsi tewas di tengah perjalanan menggunakan kapal dan ribuan lainnya tertahan di sistem imigrasi. Pemerintah dengan jelas menegaskan, para pencari suaka yang datang dengan kapal tidak akan dibiarkan masuk ke Australia.
Sejak 2012 para pengungsi yang datang dengan kapal digiring ke Pulau Nauru atau Pulau Manus di Papua Nugini. Jika permohonan suaka mereka dikabulkan maka mereka akan tinggal di Papua Nugini atau sebagian bisa pindah ke Kamboja.
"Pemerintah sudah berhasil menyetop gelombang kedatangan pengungsi ke Australia dalam setahun terakhir," ujar seorang juru bicara pejabat pemerintah Negeri Kanguru kepada CNN. Menteri imigrasi Australia menolak permohonan wawancara dari CNN.
Pada akhir Desember lalu pemerintah Australia mencatat ada 537 pengungsi ditahan di Nauru, termasuk 68 anak-anak. Mereka berasal dari negara-negara konflik seperti Afganistan Iran, Irk, Suriah. Pemerintah Nauru menjalankan praktik penahanan ini dengan dukungan dari Australia dan pihak swasta.
Di Pulau Nauru para pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan. Mereka tinggal di dalam tenda-tenda tanpa pendingin ruangan di kawasan yang terkenal panas.
"Kami tak bisa tidur saban malam karena banyak kecoak," ujar Mizba.
Mantan penghuni Nauru yang lain mengatakan para penjaga memperlakukan mereka seperti penjahat.
"Kami selalu diawasi," kata remaja yang enggan identitasnya diketahui.
Sebelum mengungsi dari Myanmar, Mizba mengatakan dia pernah punya cita-cita menjadi dokter. Setelah lebih dari setahun di Nauru dan meninggalkan sekolah dia mengaku sudah putus harapan untuk menjadi dokter.
"Tinggal di sini, tanpa sekolah, saya tidak bisa menjadi apa-apa. Tak ada pendidikan di sini," kata dia.
Bocah perempuan itu tidak pernah menyangka, kapal penyelundup yang dia tumpangi dengan tujuan Australia, bukannya akan memberinya harapan hidup yang lebih baik di masa datang, tapi justru membuatnya dipenjara selama 18 bulan di sebuah pulau terpencil di Pasisifk, Pulau Nauru.
"Nauru adalah tempat paling buruk yang pernah saya lihat sebagai anak-anak," ujar bocah 12 tahun itu, seperti dilansir stasiun televisi CNN, pekan lalu.
Puluhan anak seperti Mizba ditahan di pulau itu selama berbulan-bulan, bahkan tahunan di pulau seluas hanya 21 kilometer persegi itu.
CNN mewawancarai sejumlah anak mantan penghuni Pulau Nauru yang menggambarkan tempat mereka sebagai penjara. Anak-anak itu harus hidup di balik pagar pembatas. Mereka digeledah selama akan masuk atau keluar dari kamp, bahkan ketika mereka pergi ke sekolah. Mereka merasa diintimidasi dan dilecehkan oleh para penjaga. Tapi yang paling anak-anak pengungsi itu rasakan adalah keputusasaan akan masa depan yang lebih baik.
"Punya impian untuk masa depan yang oebih baik bukanlah kejahatan. Tapi kami diperlakukan layaknya tahanan," kata remaja perempuan 18 tahun yang tidak mau identitasnya diketahui.
bocah pengungsi di pulau nauru CNN
Eropa saat ini tengah menghadapi krisis pengungsi dari Timur Tengah yang datang berbondong-bondong menggunakan perahu atau kapal penyelundup. Australia sudah sejak lama menerapkan kebijakan kontroversial dalam menangani para pengungsi. Negeri Kanguru itu tidak segan-segan menyetop kapal pengungsi dan menyuruh mereka kembali atau ditahan di sebuah pulau terpencil di Pasifik.
Dalam kurun 2007 hingga 2013 pemerintah Australia mengatakan sedikitnya 1.200 pengungsi tewas di tengah perjalanan menggunakan kapal dan ribuan lainnya tertahan di sistem imigrasi. Pemerintah dengan jelas menegaskan, para pencari suaka yang datang dengan kapal tidak akan dibiarkan masuk ke Australia.
Sejak 2012 para pengungsi yang datang dengan kapal digiring ke Pulau Nauru atau Pulau Manus di Papua Nugini. Jika permohonan suaka mereka dikabulkan maka mereka akan tinggal di Papua Nugini atau sebagian bisa pindah ke Kamboja.
"Pemerintah sudah berhasil menyetop gelombang kedatangan pengungsi ke Australia dalam setahun terakhir," ujar seorang juru bicara pejabat pemerintah Negeri Kanguru kepada CNN. Menteri imigrasi Australia menolak permohonan wawancara dari CNN.
Pada akhir Desember lalu pemerintah Australia mencatat ada 537 pengungsi ditahan di Nauru, termasuk 68 anak-anak. Mereka berasal dari negara-negara konflik seperti Afganistan Iran, Irk, Suriah. Pemerintah Nauru menjalankan praktik penahanan ini dengan dukungan dari Australia dan pihak swasta.
Di Pulau Nauru para pengungsi hidup dalam kondisi mengenaskan. Mereka tinggal di dalam tenda-tenda tanpa pendingin ruangan di kawasan yang terkenal panas.
"Kami tak bisa tidur saban malam karena banyak kecoak," ujar Mizba.
Mantan penghuni Nauru yang lain mengatakan para penjaga memperlakukan mereka seperti penjahat.
"Kami selalu diawasi," kata remaja yang enggan identitasnya diketahui.
Sebelum mengungsi dari Myanmar, Mizba mengatakan dia pernah punya cita-cita menjadi dokter. Setelah lebih dari setahun di Nauru dan meninggalkan sekolah dia mengaku sudah putus harapan untuk menjadi dokter.
"Tinggal di sini, tanpa sekolah, saya tidak bisa menjadi apa-apa. Tak ada pendidikan di sini," kata dia.
0 Response to "Australia diam-diam punya pulau penjara bagi para pengungsi"
Posting Komentar