Pemerintah
telah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala
Daerah (Perkada). Selain Perda terkait investasi dan iklim usaha,
sejumlah Perda yang berisi anjuran moralitas juga tak luput dari
pembatalan. Di poin terakhir ini, kini yang menjadi sorotan publik.
Semangat meneguhkan Pancasila dan pluralitas Indonesia oleh pemerintahan Jokowi patut diapresiasi. Meski, semangat tersebut harus tetap berpijak pada peraturan perundang-undangan. Jangan sampai semangat menegakkan konstitusi justru di saat bersamaan menabrak konstitusi.
"Saya tegaskan pembatalan Perda-perda itu untuk menjadikan Indonesia bangsa besar, toleran, dan berdaya saing," kata Presiden awal pekan ini.
Sementara Mendagri Tjahjo Kumolo dalam kesempatan yang sama juga menyebutkan pihaknya saat ini tengah mengkaji Perda-perda yang potensial menganggu toleransi dan kemajemukan masyarakat. Kementerian Dalam Negeri telah mengirim tim untuk mengkaji Perda di sejumlah daerah.
"Selain Serang, ada Bogor, Lebak, Padang, dan Bengkulu. Mestinya itu hanya bersifat imbauan agar warung ditutup pakai tirai," ujar Tjahjo.
Langkah pemerintah yang membatalkan sejumlah Perda yang tak hanya terkait dengan investasi dan pembangunan di daerah mendapat catatan penting dari sejumlah fraksi partai islam di Parlemen.
Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati mengingatkan pemerintah agar pembatalan Perda-perda itu tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Dia berpendapat perda yang berkaitan dengan moralitas masyarakat agar tetap dipertahankan.
"Perda yang terkait dengan persoalan moralitas masyarakat harus tetap dipertahankan, bahkan didukung. Misalnya Perda pelarangan Miras, Perda penertiban warung remang-remang dan lain-lain," ujar Reni di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu, 15 Juni 2016.
Lebih lanjut anggota Komisi X DPR RI ini juga mengatakan agar Perda yang terkait persoalan pendidikan keagamaan seperti Perda mengenai pemberantasan buta huruf al-Quran dan Perda-perda sejenisnya semestinya harus mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
"Kasus razia yang dilakukan Satpol PP Kota Serang terhadap puluhan warung makan, termasuk milik seorang ibu bernama Saeni di Serang, untuk tidak digeneralisir menjadi alasan pembatalan terhadap Perda-perda sejenis," imbuh Wakil Ketua Umum DPP PPP ini.
Hal senada ditegaskan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini yang berharap agar pemerintah cermat dan tidak gegabah dalam membatalkan Perda-perda agar tidak menimbulkan polemik yang tidak pada tempatnya.
"Namun jangan sampai ada kesan mengekang otonomi daerah. Oleh karena itu, Pemerintah harus mengedepankan pendekatan pembinaan daripada pengawasan represif atas Perda-perda yang dinilai bermasalah. Ada kajian dan proses dialogis. Sehingga tidak asal batalkan," katanya.
Terkait subtansi Perda yang dianggap bermasalah, pemerintah harus mengemukakan kriteria yang rasional dan objektif berdasarkan peraturan perundang-undangan.
"Tunjukkan di mana letak masalah terkait subtansinya secara objektif dan peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar, sehingga pemda dan publik juga bisa menilai objektif dan rasional langkah pemerintah pusat ini," tandas Jazuli.
Lebih lanjut anggota Komisi II DPR RI ini mengingatkan pemerintah pusat agar tidak egois membatalkan Perda yang dibentuk dalam kerangka kearifan lokal seperti penjagaan akhlak, moralitas dan kebaikan generasi muda.
"Inilah pentingnya kecermatan seperti saya katakan di awal," ungkap Jazuli.
Senada dengan Jazuli Juwaini, Mahfudz Siddiq, legislator dari fraksi PKS melontarkan kalimat sederhana.
"Mosok urusan razia warung saja pusat harus turut campur?", tutur Mahfudz.
Tanggapan lain diberikan pengamat hukum tata negara Irman Putrasidin menyebutkan kewenangan pemerintah pusat membatalkan Perda yang dibentuk Pemda provinsi dan kabupaten/kota merupakan kebijakan yang represif.
"Hal ini sekarang tentunya menjadi pertanyaan masyarakat terutama di daerah dan menimbulkan masalah atas
dasar apa pemerintah pusat bisa membatalkan Perda," tegas Irman.
Dia menyebutkan secara prinsip pembatalan yang dilakukan Mendagri masih bisa digugat di pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung. Menurut Irman pada prinsipnya, segala aturan seperti Perda hanya bisa dibatalkan oleh kekuasaan kehakiman dengan judicial review di Mahkamah Agung (MA) karena semua peraturan di bawah UU diputuskan di MA.
"Sebenarnya yang seharusnya mengajukan ke MA itu pihak Kemendagri, agar dibatalkan jika bertentangan dengan UU. Tapi UU Pemda ini semangatnya Mendagri diberikan kewenangan dulu untuk membatalkan dan kalau pihak Pemda atau masyarakat daerah tidak setuju dengan keputusan Mendagri, maka keputusan itu bisa dibatalkan. Jadi dibalik yang mengajukan pihak daerah," tandasnya.
Kuasa pemerintah pusat terhadap Perda dan Perkada yang diterbitkan pemerintah daerah dan kepala daerah dalam desain UU No 5 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah memang cukup powerful. Seperti diatur dalam Pasal 251 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemda, menteri dapat membatalkan Perda provinsi. Sedangkan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat juga diberi kewenangan untuk membatalkan Perda di level Kabupaten/Kota.
Di ketentuan UU Pemda yang baru ini, Pemda masih diberi hak untuk mengajukan keberatan terhadap pembatalan Perda oleh pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi mengajukan keberatan kepada presiden. Sedangkan bagi pemerintah kabupaten/kota mengajukan keberatan kepada menteri. Proses pengajuan keberatan ini dilakukan paling lambat 14 hari sejak pembatalan dilakukan oleh pemerintah pusat.
Konstruksi hukum di UU Pemda ini bila dicermati lebih jauh berpotensi melanggar konstitusi khususnya di Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyebutkan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya dalam konteks melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Ketentuan UU Pemda yang baru yang meniadakan mekanisme proses uji materi terhadap Perda juga menafikan kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung (MA) yang memiliki menguji peraturan perundangan-undangan terhadap UU sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1).
Tanggapan netizen juga tak kalah menarik.
Netizen dengan nama pengguna @Haries72gar menuliskan bahwa negeri ini kian dihabisi.
"Yang pesta kaum liberalis, kapitalis dan komunis," tulis Haries tajam.
Haries pun keberatan jika perda yang dibatalkan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi.
"Perda itu hasil musyawarah para perwakilan rakyat. Letak langgar konstitusinya di mana?:m tanyanya lagi.
Mencermati perda yang dibatalkan oleh Jokowi adalah perda-perda yang berkaitan dengan syariat Islam, Haries menegaskan, jangan asal main cabut perda.
"Kalau alergi dengan kata-kata syariat, jangan yang dihapus perdanya. Toh pada umumnya, Perda-Perda Islami tak buat judul Perda Syariat,"tandasnya.
Netizen lain menegaskan bahwa kasus Satpol PP ini hanya dijadikan alasan bagi kelompok tertentu untuk menyudutkan umat Islam.
"Karena agama mereka bukan itu.. Jadi Islam harus ikut aturan mreka. ,Secara tidak langsung sangat jelas misi mereka. Kasus satpol hanya alasan," tulis Iskandar, pemilik akun @kandargalang.
Pemilik akun @susi)raharjo ikut mencermati langkah Jokowi ini. Ia bahkan lebih objektif dengan tak menyangkutkan pembatalan perda semata karena agama.
"Apa urusannya coba orang pusat hapus-hapus Perda orang daerah. udah SDAnya diambilin, perda pun diusilin juga," tulis Susi.
Jurnalis senior Edy Ahmad Effendi juga menyatakan kebingungannya akan penghapusan perda oleh pemerintah pusat.
"Perda Kab Bengkulu, Perda No. 05 Tahun 2014. Tentang Wajib Baca Al Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin. Saya bingung, kok perda ini dihapus?", tanyanya melalui akun @eae18.
Lain lagi tanggapan I Wayan Suarjaya, seorang anggota TNI dari Bali yang memahami keberatan penghapusan perda yang berisi sejumlah peraturan terkait agama tertentu,
"Saya bisa bayangkan.. Kalau saat Nyepi di Bali lalu ada yang berisik pun, kami akan marah," terang pria beragama Hindu ini.
Pun, lanjutnya, bagi daerah dengan kelompok masyarakat yang didominasi agama Kristiani, seperti di Papua, dan beberapa daerah di Indoesia Timur lainnya, tentu akan tersinggung bila ada perda yang diaggap baik untuk perkembangan agama mereka dicabut atau dibatalkan.
"Jangan memandang kasus ini dari sisi agama Anda. Cobalah bertoleransi dengan memandang dari sisi agama mayoritas," tutupnya bijak.
Dia menyebutkan secara prinsip pembatalan yang dilakukan Mendagri masih bisa digugat di pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung. Menurut Irman pada prinsipnya, segala aturan seperti Perda hanya bisa dibatalkan oleh kekuasaan kehakiman dengan judicial review di Mahkamah Agung (MA) karena semua peraturan di bawah UU diputuskan di MA.
"Sebenarnya yang seharusnya mengajukan ke MA itu pihak Kemendagri, agar dibatalkan jika bertentangan dengan UU. Tapi UU Pemda ini semangatnya Mendagri diberikan kewenangan dulu untuk membatalkan dan kalau pihak Pemda atau masyarakat daerah tidak setuju dengan keputusan Mendagri, maka keputusan itu bisa dibatalkan. Jadi dibalik yang mengajukan pihak daerah," tandasnya.
Kuasa pemerintah pusat terhadap Perda dan Perkada yang diterbitkan pemerintah daerah dan kepala daerah dalam desain UU No 5 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah memang cukup powerful. Seperti diatur dalam Pasal 251 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemda, menteri dapat membatalkan Perda provinsi. Sedangkan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat juga diberi kewenangan untuk membatalkan Perda di level Kabupaten/Kota.
Di ketentuan UU Pemda yang baru ini, Pemda masih diberi hak untuk mengajukan keberatan terhadap pembatalan Perda oleh pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi mengajukan keberatan kepada presiden. Sedangkan bagi pemerintah kabupaten/kota mengajukan keberatan kepada menteri. Proses pengajuan keberatan ini dilakukan paling lambat 14 hari sejak pembatalan dilakukan oleh pemerintah pusat.
Konstruksi hukum di UU Pemda ini bila dicermati lebih jauh berpotensi melanggar konstitusi khususnya di Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyebutkan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya dalam konteks melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Ketentuan UU Pemda yang baru yang meniadakan mekanisme proses uji materi terhadap Perda juga menafikan kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung (MA) yang memiliki menguji peraturan perundangan-undangan terhadap UU sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1).
Tanggapan netizen juga tak kalah menarik.
Netizen dengan nama pengguna @Haries72gar menuliskan bahwa negeri ini kian dihabisi.
"Yang pesta kaum liberalis, kapitalis dan komunis," tulis Haries tajam.
Haries pun keberatan jika perda yang dibatalkan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi.
"Perda itu hasil musyawarah para perwakilan rakyat. Letak langgar konstitusinya di mana?:m tanyanya lagi.
Mencermati perda yang dibatalkan oleh Jokowi adalah perda-perda yang berkaitan dengan syariat Islam, Haries menegaskan, jangan asal main cabut perda.
"Kalau alergi dengan kata-kata syariat, jangan yang dihapus perdanya. Toh pada umumnya, Perda-Perda Islami tak buat judul Perda Syariat,"tandasnya.
Netizen lain menegaskan bahwa kasus Satpol PP ini hanya dijadikan alasan bagi kelompok tertentu untuk menyudutkan umat Islam.
"Karena agama mereka bukan itu.. Jadi Islam harus ikut aturan mreka. ,Secara tidak langsung sangat jelas misi mereka. Kasus satpol hanya alasan," tulis Iskandar, pemilik akun @kandargalang.
Pemilik akun @susi)raharjo ikut mencermati langkah Jokowi ini. Ia bahkan lebih objektif dengan tak menyangkutkan pembatalan perda semata karena agama.
"Apa urusannya coba orang pusat hapus-hapus Perda orang daerah. udah SDAnya diambilin, perda pun diusilin juga," tulis Susi.
Jurnalis senior Edy Ahmad Effendi juga menyatakan kebingungannya akan penghapusan perda oleh pemerintah pusat.
"Perda Kab Bengkulu, Perda No. 05 Tahun 2014. Tentang Wajib Baca Al Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin. Saya bingung, kok perda ini dihapus?", tanyanya melalui akun @eae18.
Lain lagi tanggapan I Wayan Suarjaya, seorang anggota TNI dari Bali yang memahami keberatan penghapusan perda yang berisi sejumlah peraturan terkait agama tertentu,
"Saya bisa bayangkan.. Kalau saat Nyepi di Bali lalu ada yang berisik pun, kami akan marah," terang pria beragama Hindu ini.
Pun, lanjutnya, bagi daerah dengan kelompok masyarakat yang didominasi agama Kristiani, seperti di Papua, dan beberapa daerah di Indoesia Timur lainnya, tentu akan tersinggung bila ada perda yang diaggap baik untuk perkembangan agama mereka dicabut atau dibatalkan.
"Jangan memandang kasus ini dari sisi agama Anda. Cobalah bertoleransi dengan memandang dari sisi agama mayoritas," tutupnya bijak.
0 Response to "TANGGAPAN PUBLIK Atas Pembatalan Perda Oleh Jokowi"
Posting Komentar