Rabu, 09 Maret 2016 / 12:51 WIB
JAKARTA.
Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menyarankan agar penurunan harga
bahan bakar minyak (BBM) tidak terlalu besar karena hal itu sangat
berisiko jika di kemudian hari terjadi lagi penaikan harga.
"Dengan penurunan yang terlalu banyak, potensi besaran angka jika terjadi lagi kenaikan, tentu akan tinggi pula. Ini bisa mengundang demo besar-besaran," katanya di Jakarta, Rabu (8/3).
Kurtubi menilai rendahnya harga minyak dunia tetap menjadi momen yang tepat untuk menurunkan harga BBM melalui instrumen kebijakan harga.
Kendati demikian, lanjut dia, penurunan tersebut tidak sebanyak yang disuarakan berbagai kalangan, misal di bawah Rp 5.000 per liter.
Menurut dia, tidak pas jika beberapa kalangan membandingkan harga BBM di Indonesia dengan negara tetangga, semisal Singapura dan Malaysia.
Dilihat dari kondisi geografis dan luas wilayah saja, Indonesia jauh lebih besar dan luas dibandingkan negara tetangga sehingga biaya angkut di Tanah Air jauh lebih mahal daripada kedua negara tersebut.
"Di Indonesia, perlu pesawat untuk mengangkut BBM, sedangkan Singapura, misalnya, sangat murah karena cukup menggunakan truk," lanjut Kurtubi.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Benny Lubiantara juga berpendapat bahwa penurunan itu hendaknya jangan terlalu banyak karena akan berdampak buruk untuk jangka panjang.
Menurut dia, jika tingkat "domestic price" BBM terlalu rendah, membuat tingkat konsumsi BBM menjadi sangat boros. Jika kondisi demikian terus terjadi, tentu sangat berbahaya bagi ketahanan energi nasional karena di sisi suplai saat ini justru mengalami penurunan.
"Konsumsi akan jorjoran karena harga yang terlalu murah. Ini sangat berbahaya karena berimplikasi pada kesenjangan hilir dan hulu yang cukup signifikan," katanya.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menyatakan bahwa SPBU asing yang saat ini menjual harga BBM lebih mahal ketimbang Pertamina. Untuk itu, seharusnya pemerintah melalui BPH Migas menjalankan fungsi regulator.
"BPH Migas bisa mengatur SPBU asing tersebut agar menurunkan harga. Minimal mempertanyakan, mengapa Shell dan Total tidak mau menurunkan harga?" katanya.
Harga BBM di SPBU asing, saat ini memang lebih mahal. Shell, misalnya, menjual jenis v-power Rp 9.100/liter, jauh lebih tinggi daripada pertamax 95 keluaran Pertamina, yakni Rp 8.850/liter.
Merujuk pada formula yang sudah ditetapkan, menurut dia, harga jual Shell memang jauh lebih tinggi. Dengan mengacu langsung pada Means of Platt Singapore (MOPS) plus biaya distribusi 2 persen, plus margin SPBU, harga Shell jenis super, misalnya, seharusnya Rp7.000/liter karena hanya dijual di Jakarta.
Untuk itu, Marwan juga mengimbau masyarakat agar lebih jeli. Kalau harga sudah mahal, sebaiknya tidak usah dibeli karena secara kualitas sebenarnya produk Pertamina juga lebih baik.
"Kalau perlu diumumkan di publik bahwa BBM SPBU asing tersebut sudah sangat mahal, jangan dibeli. Sebaiknya masyarakat beralih ke produk yang dijual oleh perusahaan negara, yang 100% milik rakyat," katanya.
"Dengan penurunan yang terlalu banyak, potensi besaran angka jika terjadi lagi kenaikan, tentu akan tinggi pula. Ini bisa mengundang demo besar-besaran," katanya di Jakarta, Rabu (8/3).
Kurtubi menilai rendahnya harga minyak dunia tetap menjadi momen yang tepat untuk menurunkan harga BBM melalui instrumen kebijakan harga.
Kendati demikian, lanjut dia, penurunan tersebut tidak sebanyak yang disuarakan berbagai kalangan, misal di bawah Rp 5.000 per liter.
Menurut dia, tidak pas jika beberapa kalangan membandingkan harga BBM di Indonesia dengan negara tetangga, semisal Singapura dan Malaysia.
Dilihat dari kondisi geografis dan luas wilayah saja, Indonesia jauh lebih besar dan luas dibandingkan negara tetangga sehingga biaya angkut di Tanah Air jauh lebih mahal daripada kedua negara tersebut.
"Di Indonesia, perlu pesawat untuk mengangkut BBM, sedangkan Singapura, misalnya, sangat murah karena cukup menggunakan truk," lanjut Kurtubi.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Benny Lubiantara juga berpendapat bahwa penurunan itu hendaknya jangan terlalu banyak karena akan berdampak buruk untuk jangka panjang.
Menurut dia, jika tingkat "domestic price" BBM terlalu rendah, membuat tingkat konsumsi BBM menjadi sangat boros. Jika kondisi demikian terus terjadi, tentu sangat berbahaya bagi ketahanan energi nasional karena di sisi suplai saat ini justru mengalami penurunan.
"Konsumsi akan jorjoran karena harga yang terlalu murah. Ini sangat berbahaya karena berimplikasi pada kesenjangan hilir dan hulu yang cukup signifikan," katanya.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menyatakan bahwa SPBU asing yang saat ini menjual harga BBM lebih mahal ketimbang Pertamina. Untuk itu, seharusnya pemerintah melalui BPH Migas menjalankan fungsi regulator.
"BPH Migas bisa mengatur SPBU asing tersebut agar menurunkan harga. Minimal mempertanyakan, mengapa Shell dan Total tidak mau menurunkan harga?" katanya.
Harga BBM di SPBU asing, saat ini memang lebih mahal. Shell, misalnya, menjual jenis v-power Rp 9.100/liter, jauh lebih tinggi daripada pertamax 95 keluaran Pertamina, yakni Rp 8.850/liter.
Merujuk pada formula yang sudah ditetapkan, menurut dia, harga jual Shell memang jauh lebih tinggi. Dengan mengacu langsung pada Means of Platt Singapore (MOPS) plus biaya distribusi 2 persen, plus margin SPBU, harga Shell jenis super, misalnya, seharusnya Rp7.000/liter karena hanya dijual di Jakarta.
Untuk itu, Marwan juga mengimbau masyarakat agar lebih jeli. Kalau harga sudah mahal, sebaiknya tidak usah dibeli karena secara kualitas sebenarnya produk Pertamina juga lebih baik.
"Kalau perlu diumumkan di publik bahwa BBM SPBU asing tersebut sudah sangat mahal, jangan dibeli. Sebaiknya masyarakat beralih ke produk yang dijual oleh perusahaan negara, yang 100% milik rakyat," katanya.
0 Response to "Penurunan harga BBM jangan terlalu besar"
Posting Komentar