Sabtu, 06 Februari 2016
Gonore, Sodomi dan LGBT
Penulis: Dr. Agnes Tri Harjaningrum*
“Apa keluhan anaknya bu?”
“Kencingnya bernanah Dokter, sudah dua minggu.” Jawab si ibu.
Haa? Aku sedikit terhenyak. Anak laki-laki 12 tahun, kencing bernanah? Sungguh tidak lazim, pasti ada sesuatu.
Sore tadi datang seorang anak laki-laki Manggarai ke tempat praktek di rumah dinas yang kutempati di Ruteng, Manggarai, NTT ini. JD nama anak itu. Anak kecil kelas 6 SD, berkulit coklat, rambut gelombang dengan wajah keras khas Manggarai, Ia diantar ibunya dan seorang wanita seperti tantenya. Kekepoanku langsung muncul, mengingat pasien-pasien kencing bernanah umumnya hanya sering terjadi pada pasien dewasa akibat sering ‘jajan perempuan’ sembarangan sehingga terkena penyakit kelamin yang bernama Gonore. Pikiranku langsung teringat bacaan sebuah artikel di medsos tentang remaja-remaja yang gemar ‘main’ dengan PSK karena tinggal di daerah PSK, apa anak ini salah satunya? Ah tapi ini kan Flores. Tak mungkin lah. Aku semakin penasaran.
“Maaf ya bu, ada kejadian apa sebelumnya sehingga kencingnya keluar nanah?”
“Begini Dokter,” tiba-tiba perempuan yang kupikir tante anak itu, menyela. “Anak ini memang habis di sodomi, oleh bencong.”
Astaghfirullah! Aku kembali terkesiap.
Perempuan itu rupanya diutus polisi sebagai pendamping.
“Berapa kali? Kapan dan bagaimana kejadiannnya?” Tanyaku ingin tahu.
“Tiga kali bu Dok,”Anak itu menyahut tanpa takut. “Waktu itu dekat Natal, bulan Desember,” sahutnya lagi, datar.
“Kami tinggal di Borong (2 jam dari Ruteng). Rumah kami di pasar, sore-sore saya suruh anak saya beli gorengan,” ibunya melanjutkan.”Katanya sehabis membeli gorengan, tiba-tiba dia ditarik oleh si Bencong dibawa ke tempat kosnya. Lalu ia dipaksa.” Mata ibunya mulai berkaca-kaca.
Hmmh…Kutarik napas panjang, membayangkan derita hati sang ibu.
Tapi kalau si anak di sodomi saja, kenapa dia bisa kena Gonore di alat kelaminnya? Kekepoanku berlanjut.
“Maaf ya JD, saya tanya lagi, jadi si Bencong memasukan alat kelaminnya ke lubang anusmu? Apa juga disuruhnya kamu melakukan yang sebaliknya kepada dia?”
“Iya bu Dok,” Angguknya.
Agrh! Sesak rasanya melihat anggukan kepalanya. Tak tega rasanya membayangkan masa depan anak lelaki ini, bagaimana kalau dia balas dendam di kemudian hari? Phf.. Seketika bayangan anak laki-lakiku berkelebat. Tuhan, lindungi anak-anakku. Kadang, sulit memang untuk tidak baper ketika menghadapi kasus-kasus semacam ini ketika teringat anak sendiri.
“Bu, saya kuatir korbannya bukan cuma JD, apakah polisi sudah mencari tahu korban lainnya?”
“Kami tidak tahu bu Dok.”
“Dan Bu, anak ibu juga perlu di periksa HIV, bagaimana kalau pelakunya ternyata HIV, jadi perlu periksa ya Bu?” Si ibu cuma mengangguk.
“Lalu Bu, bagaimana keadaaan JD setelah kejadian itu?” Lanjutku.
“Menurut gurunya, dia lebih banyak diam di kelas bu Dok. Dia juga ketakutan, tidak berani sendiri, takut ada yang menariknya lagi,” jawab si ibu.
Gonore nya memang bisa sembuh, kencing nanahnya bisa dihilangkan dengan obat. Tapi bagaimana dengan trauma dan jejas di hati dan pikirannya? Bagaimana jika ada dendam di hatinya sehingga ketika dia besar dia akan mencari korban dan berbuat yang sama? Sementara di daerah ini tidak ada psikolog, mungkin tidak ada pula lembaga yang peduli mengenai kesehatan jiwa anak ini di kemudian hari. Lalu bagaimana pula kalau ternyata si Bencong itu pengidap HIV? Ah, makin suram saja nasibmu JD kalau mengingat itu.
Jadi ingat sebuah tulisan di medsos mengenai LGBT yang bilang, kalau sudah terinfeksi HIV dan kena AIDS siapa yang mau bertanggungjawab? Apakah para pembela HAM dan orang-orang yang mendukung LGBT itu mau peduli? Mau memandikan jenazahnya?
Begitu juga dengan kasus ini. Anak-anak tak berdosa, yang kemudian jiwanya tercabik karena dilukai oleh orang dewasa penyuka sesama. Bagaimana kalau anak ini tertular HIV, dan masa depannya? Ini kota kecil Kawan, jumlahnya mungkin memang tak besar. Bagaimana dengan kota besar? Tentu, jumlahnya bukan hanya hitungan tangan. Apakah para pembela HAM dan pendukung LGBT juga mau peduli???
Tadi siang, sebuah tulisan mampir di layar hp-ku, bunyinya kira-kira begini: "Segala penyakit/kelainan adalah milik Allah, segala kesulitan datangnya dari Allah, jadi mintalah kesembuhan dan kemudahan dari Allah. Termasuk LGBT, mintalah kesembuhan dan mohonlah dengan sungguh kepada Allah."
Mungkin memang sulit, dan pasti sulit. Tapi paling tidak, ketika jalan keluar seperti buntu, dengan tidak ikut membela dan menggembar-gemborkan LGBT, dan mencoba selalu mendekatkan diri pada Tuhan saja, mungkin itu lebih baik dan bisa menjadi jalan agar pertolongan Tuhan datang sehingga diberi kesembuhan. Karena bukankah hanya Allah saja sebaik-baik penolong?
Doaku bersamamu JD, semoga masa depanmu tidak sekelam tragedimu...
Ruteng, 3 February 2016
___
*Sumber: fb
0 Response to "Gonore, Sodomi dan LGBT"
Posting Komentar