Senin, 8 Februari 2016 | 05:32 WIB
Ribuan warga Solo menyaksikan karnaval budaya Garebek Sudiro di kawasan
Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Minggu (31/1/2016). Garebek Sudiro yang
digelar setiap menjelang tahun baru Imlek menjadi wahana interaksi
budaya masyarakat di Solo.
Oleh: ST Sularto
Sejak Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional tahun 2003, perayaannya senantiasa menggairahkan.
Tari barongsai digelar di berbagai tempat, menyedot perhatian masyarakat luas. Imlek menegaskan pernyataan Mpu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti hari-hari besar lainnya, nuansa Imlek sarat makna. Tidak hanya arus transportasi bertambah sibuk oleh mobilitas orang bepergian dan maraknya kegiatan bisnis dengan pernak-pernik imlek, tetapi juga aspek sosial-politik-budaya etnis Tionghoa sebagai bagian utuh bangsa dan rakyat Indonesia.
Masyarakat Tionghoa tidak lagi diasosiasikan sebatas bidang ekonomi, tetapi juga bidang-bidang lain.
Dengan pengakuan itu, diharapkan tidak lagi ada kecurigaan dan keluhan perlakuan diskriminatif, sebaliknya berkembang rasa kesetiakawanan, kebersamaan, solidaritas, dan tekad hidup bersama.
Yayasan Nation Building (Nabil) yang diinsiasi Eddie Lembong, misalnya, sekadar contoh serius ikut mengembangkan kebersamaan ini.
Membenarkan pernyataan Ernest Renan, kebinekaan adalah keniscayaan, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah tekad hidup bersama sebagai bangsa.
Kesibukan transportasi di Tiongkok dan Taiwan menjelang Imlek mengingatkan suasana menjelang Idul Fitri.
Hari raya Idul Fitri dengan ikutan sebagai Lebaran menjadi budaya kita, Indonesia, sebagai hari kebersamaan. Mudik-ketemu di udik-kesempatan menyambung kembali suasana keterpisahan fisik selama setahun merantau.
Mudik saat Lebaran ataupun Imlek ibarat merekatkan kembali kebinekaan manusiawi.
Merayakan kebersamaan berarti menyatukan langkah mengatasi berbagai persoalan aktual yang dihadapi.
Alih-alih tidak bisa segera teratasi, setidaknya rasa kebersamaan terekspresikan tentang kesadaran bersama (Paulo Freire) tentang masih adanya seabrek pekerjaan rumah bersama.
Ada sejumlah persoalan yang langsung dan tidak langsung bersentuhan dengan urusan kehidupan masyarakat bawah.
Melonjaknya harga sejumlah bahan makanan, sama pentingnya dengan kisruhnya partai politik, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan terancamnya rasa aman oleh aksi teroris.
Menurut kalender Tionghoa, Tahun Kambing Kayu akan berakhir 8 Februari 2016 digantikan Tahun Monyet Api yang berlangsung sampai 27 Januari 2017.
Sesuai sifat monyet sebagai hewan yang andal, cerdik, dan gemar bertualang, pada Tahun Monyet Api diharapkan dapat diselesaikan berbagai pekerjaan rumah bangsa dan rakyat Indonesia.
Posisi monyet di urutan kedelapan dalam tradisi Tionghoa sebagai angka keberuntungan mengandaikan kesempatan bersama mengatasi berbagai persoalan politik, budaya, dan sosial bangsa rakyat Indonesia.
Keberuntungan tidak hanya ditunggu, tetapi harus direbut dan semoga berpihak kepada kita. Perayaan Imlek menjadi momentum merebut keberuntungan (luck) lewat kebersamaan tekad mengatasi berbagai persoalan saat ini.
Selamat Tahun Baru Imlek 2567 Kongzili bagi yang merayakannya!
Sejak Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional tahun 2003, perayaannya senantiasa menggairahkan.
Tari barongsai digelar di berbagai tempat, menyedot perhatian masyarakat luas. Imlek menegaskan pernyataan Mpu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti hari-hari besar lainnya, nuansa Imlek sarat makna. Tidak hanya arus transportasi bertambah sibuk oleh mobilitas orang bepergian dan maraknya kegiatan bisnis dengan pernak-pernik imlek, tetapi juga aspek sosial-politik-budaya etnis Tionghoa sebagai bagian utuh bangsa dan rakyat Indonesia.
Masyarakat Tionghoa tidak lagi diasosiasikan sebatas bidang ekonomi, tetapi juga bidang-bidang lain.
Dengan pengakuan itu, diharapkan tidak lagi ada kecurigaan dan keluhan perlakuan diskriminatif, sebaliknya berkembang rasa kesetiakawanan, kebersamaan, solidaritas, dan tekad hidup bersama.
Yayasan Nation Building (Nabil) yang diinsiasi Eddie Lembong, misalnya, sekadar contoh serius ikut mengembangkan kebersamaan ini.
Membenarkan pernyataan Ernest Renan, kebinekaan adalah keniscayaan, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah tekad hidup bersama sebagai bangsa.
Kesibukan transportasi di Tiongkok dan Taiwan menjelang Imlek mengingatkan suasana menjelang Idul Fitri.
Hari raya Idul Fitri dengan ikutan sebagai Lebaran menjadi budaya kita, Indonesia, sebagai hari kebersamaan. Mudik-ketemu di udik-kesempatan menyambung kembali suasana keterpisahan fisik selama setahun merantau.
Mudik saat Lebaran ataupun Imlek ibarat merekatkan kembali kebinekaan manusiawi.
Merayakan kebersamaan berarti menyatukan langkah mengatasi berbagai persoalan aktual yang dihadapi.
Alih-alih tidak bisa segera teratasi, setidaknya rasa kebersamaan terekspresikan tentang kesadaran bersama (Paulo Freire) tentang masih adanya seabrek pekerjaan rumah bersama.
Ada sejumlah persoalan yang langsung dan tidak langsung bersentuhan dengan urusan kehidupan masyarakat bawah.
Melonjaknya harga sejumlah bahan makanan, sama pentingnya dengan kisruhnya partai politik, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan terancamnya rasa aman oleh aksi teroris.
Menurut kalender Tionghoa, Tahun Kambing Kayu akan berakhir 8 Februari 2016 digantikan Tahun Monyet Api yang berlangsung sampai 27 Januari 2017.
Sesuai sifat monyet sebagai hewan yang andal, cerdik, dan gemar bertualang, pada Tahun Monyet Api diharapkan dapat diselesaikan berbagai pekerjaan rumah bangsa dan rakyat Indonesia.
Posisi monyet di urutan kedelapan dalam tradisi Tionghoa sebagai angka keberuntungan mengandaikan kesempatan bersama mengatasi berbagai persoalan politik, budaya, dan sosial bangsa rakyat Indonesia.
Keberuntungan tidak hanya ditunggu, tetapi harus direbut dan semoga berpihak kepada kita. Perayaan Imlek menjadi momentum merebut keberuntungan (luck) lewat kebersamaan tekad mengatasi berbagai persoalan saat ini.
Selamat Tahun Baru Imlek 2567 Kongzili bagi yang merayakannya!
0 Response to "Imlek, Kebersamaan, Keberuntungan"
Posting Komentar