Senin, 8 Februari 2016
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung
MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden
Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung
MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi
orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka.
Di Indonesia, dinamika politik memberi pengaruh penting dalam pemilihan nama-nama seseorang. Misalnya, setelah peristiwa PRRI, orang-orang Sumatera Barat seolah takut membuka diri sebagai orang Minang karena khawatir dikait-kaitkan dengan PRRI. Mereka memikul beban sejarah.
Contoh lain, saat Orde Baru begitu hegemonik terhadap semua sendi kehidupan berbangsa, orang-orang menjadikannya sebagai inspirasi untuk memberi nama anaknya sesuai kondisi saat itu. Bagi sebagian orangtua saat itu, nama adalah perjuangan.
Baca tulisan sebelumnya: Ketika Orang-orang Minang Sempat Takut Memakai Nama Asli Daerah
Kekuasaan Orde Baru menciptakan hegemoni hingga ke alam bawah sadar yang melahirkan anak kandung bernama mayoritas diam (silent majority).
Etnis Tionghoa dilarang menggunakan nama asli dan harus mengindonesiakan nama-nama mereka. Mencoba melawan? Bisa panjang akibatnya karena Orde Baru demikian kuat. Akhirnya, banyak yang memilih manut dan diam.
Namun, di dalam kediaman itu, muncul sejumlah mahasiswa yang selalu kritis terhadap Soeharto sebagai simbol Orde Baru. Mereka menggalang kekuatan melawan hegemoni kekuasaan.
Menghadapi rezim Soeharto yang dinilainya sangat otoriter, Heri Akhmadi (63) menamai anak sulungnya yang baru lahir dengan nama Gempur Soeharto.
Anak lelakinya itu lahir tanggal 25 September 1978 atau sebulan setelah ia keluar dari penjara. Heri yang saat itu menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung bersama ratusan mahasiswa lainnya ditangkap karena menolak Soeharto yang diajukan kembali sebagai presiden.
Baca juga: Kisah Nama Unik, dari Andy Go To School hingga Rudy A Good Boy
”Saya memberi nama Gempur Soeharto sebagai slogan, tekad, dan semangat saya untuk terus melawan rezim Soeharto yang sudah menjadi sangat otoriter, kejam, dan serakah,” ungkap Heri yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan selama beberapa periode.
Nama yang kemudian menjadi simbol perlawanan itu bahkan kemudian diumumkan dalam pertemuan di Gedung Serba Guna ITB sehingga terdengar petugas intelijen.
Akibatnya, dua tentara datang ke tempat Gempur dilahirkan di Klinik Bersalin Emma, Bandung. Sertifikat kelahiran Gempur lantas disita Kodam dan tidak kembali hingga bertahun-tahun kemudian.
Baru ketika ada pemutihan sertifikat kelahiran di Jakarta, Heri dan istrinya, Nining, mengganti nama anaknya menjadi Gempur Adi Pambrasto.
Pambrasto sebenarnya singkatan dari pasukan mahasiswa pemberantas Soeharto. Nama yang lebih ”gahar”, tetapi tersembunyi di balik singkatan demi sebuah perjuangan.
Beruntung Gempur tidak pernah mengalami kesulitan selain sertifikat kelahirannya yang disita. Saat itu, tidak memiliki sertifikat kelahiran masih dialami banyak anak di Tanah Air.
Tumbangnya Orde Baru
Ketika Orde Baru runtuh, sebagian besar rakyat bergembira menyambut harapan baru tatanan pemerintahan yang lebih baik. Maka, musisi Djaduk Ferianto kemudian memberi nama anaknya Presiden Dewa Gana.
Baca juga: Nama Unik Terkait Sejarah, Dari Eddy Ganefo Hingga Rus Tsunami
”Saat anak laki-laki saya lahir pada bulan Oktober 1997, saya beri nama Presiden karena saya ingin presiden yang ini (Soeharto) akan diganti kalau ada saingan presiden lain,” kenang Djaduk saat ditemui di kediamannya di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya, nama itu tetenger (penanda).
Situasi politik di pengujung era Orde Baru tersebut sempat membuat Djaduk kerepotan mengurus akta kelahiran untuk anak ketiganya itu.
”Setelah mengungkapkan berbagai alasan pemilihan nama itu, akhirnya akta tersebut bisa dikeluarkan walaupun awalnya agak sulit karena adanya ketakutan pada situasi politik saat itu,” ucap Djaduk.
Suami Ratna Ika Sari itu tidak berharap muluk-muluk terhadap anak laki-lakinya itu meskipun kata ”presiden” disematkan pada namanya.
”Kelak tidak jadi presiden, ya, enggak apa-apa, tetapi minimal jadi ketua RT (rukun tetangga) sajalah. Kalau jadi ketua RT, kan, panggilannya ’Bapak Ketua RT Bapak Presiden’ he-he-he.”
Jika kelak Presiden benar-benar menjadi presiden, semoga tetap peduli rakyat. Jika tidak, akan muncul Gempur-Gempur lain yang siap mengempur Presiden. (MHF/EKI/DRA)
-------
Ini adalah tulisan kedua dari dua tulisan, yang merupakan potongan dari tulisan asli yang dimuat di harian Kompas edisi 7 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul "Presiden Gempur Soeharto…"
0 Response to "Presiden Gempur Soeharto..."
Posting Komentar