Minggu, 7 Februari 2016 | 16:58 WIB
Ilustrasi: Bajaj melintas di depan mural anti korupsi di Jalan Salemba,
Jakarta Pusat, Senin (10/12/2012). Kritikan terhadap pelaku koruptor
terus disuarakan oleh aktivis untuk mendorong tindakan lebih tegas dalam
pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lainnya.
Indonesia Corruption Watch menganggap, besaran vonis terhadap terdakwa
kasus korupsi semakin kecil. Untuk tahun 2015, rata-rata vonis yang
dijatuhkan 2 tahun 2 bulan penjara.
Sementara pada 2014, rata-rata vonis sebesar 2 tahun 8 bulan penjara.
Peneliti ICW Aradila Caesar menganggap, vonis yang masuk kategori ringan itu tidak akan efektif menimbulkan efek jera.
"Seluruh jajaran pengadilan harus memiliki kesamaan pandangan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan hukumannya juga harus luar biasa, yakni jera, miskin, malu, dan cabut hak-haknya," kata Arad di kantor ICW, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Oleh karena itu, Mahkamah Agung diminta menerbitkan surat edaran atau instruksi ke pengadilan untuk menjatuhkan vonis maksimal terhadap pelaku. (baca: ICW: Semakin Banyak Terdakwa Korupsi yang Divonis Ringan)
Mulai dari pemberian uang pengganti yang tinggi sesuai dengan kerugian negara hingga pencabutan hak politik.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (baca: ICW Desak UU Tipikor Direvisi untuk Cegah Vonis Ringan)
"Pengadilan harus pula mempertimbangkan untuk mencabut hak mendapatkan remisi jika terdakwa bukanlah seorang whistle blower atau justice collaborator," kata Arad.
Pemerintah dan MA juga diminta menyusun strategi dalam menjawab persoalan hukuman ringan bagi koruptor.
Terutama regulasi yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Pasalnya, tahun 2015, rata-rata vonis yang dijatuhkan hanya 2 tahun 2 bulan penjara. (baca: 225 Terdakwa Korupsi Asal Pemda Diadili Sepanjang 2015)
"Misalnya UU tentang perampasan aset yang ditujukan untuk menjawab persoalan pengembalian kerugian negara," kata Arad.
Peneliti ICW Aradila Caesar menganggap, vonis yang masuk kategori ringan itu tidak akan efektif menimbulkan efek jera.
"Seluruh jajaran pengadilan harus memiliki kesamaan pandangan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan hukumannya juga harus luar biasa, yakni jera, miskin, malu, dan cabut hak-haknya," kata Arad di kantor ICW, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Oleh karena itu, Mahkamah Agung diminta menerbitkan surat edaran atau instruksi ke pengadilan untuk menjatuhkan vonis maksimal terhadap pelaku. (baca: ICW: Semakin Banyak Terdakwa Korupsi yang Divonis Ringan)
Mulai dari pemberian uang pengganti yang tinggi sesuai dengan kerugian negara hingga pencabutan hak politik.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (baca: ICW Desak UU Tipikor Direvisi untuk Cegah Vonis Ringan)
"Pengadilan harus pula mempertimbangkan untuk mencabut hak mendapatkan remisi jika terdakwa bukanlah seorang whistle blower atau justice collaborator," kata Arad.
Pemerintah dan MA juga diminta menyusun strategi dalam menjawab persoalan hukuman ringan bagi koruptor.
Terutama regulasi yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Pasalnya, tahun 2015, rata-rata vonis yang dijatuhkan hanya 2 tahun 2 bulan penjara. (baca: 225 Terdakwa Korupsi Asal Pemda Diadili Sepanjang 2015)
"Misalnya UU tentang perampasan aset yang ditujukan untuk menjawab persoalan pengembalian kerugian negara," kata Arad.
0 Response to "Rata-rata Vonis Koruptor Turun, ICW Minta Hakim Beri Hukuman Maksimal"
Posting Komentar