Senin, 22 Februari 2016
2017 adalah masa dimana perang media untuk politik akan dimulai.
Setelah era pilpres 2014, media mulai belajar keberpihakan dan ikut menggiring opini untuk membangun pencitraan capres yang ada, kini publik pun berpikir media tak lebih sebagai pemuas syafwat politik dari para pemilik media.
2017 adalah start yang bagus untuk sebuah perang media untuk suksesi politik di negeri ini, test case untuk tahun 2019; karena pada 2017 daerah-daerah strategik di Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerahnya (Gubernur) seperti DKI Jakarta.
Media akan tergiring keberpihakannya kembali, sesuai keinginan dan kepentingan para pemilik modal yang berhasil mendekati sang pemilik media yang ada. Jangan salah! perang media yang terjadi saat ini akan benar benar mengidentifikasikan sebuah media itu hitam atau putih pada 2017 nya.
Diluar saat ini, media-media tersebut sudah jelas membawa bendera siapa; pada 2017 benturan akan terjadi lebih keras lagi.
Bukan hanya terletak kepada siapa yang bayar, tetapi juga kepada keberpihakan keinginan sang pemilik media itu sendiri kedepannya; apakah sang calon pemimpin yang dipilih akan menampung kepentingan media tersebut?
Publik belajar bagaimana Jokowi terikat dengan Metro TV dan Surya Paloh.
Akankah kedepannya pada 2017 hal itu berulang kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan Metro TV dan Partai Nasdem nya? Dan terus digeber hingga target 2019?
Perang antar media pasti terjadi, perang dalam dimensi penggiringan opini publik untuk keberpihakan kepada salah satu calon yang ada; dan bisa saja sudah bersifat mengarah kepada hal hal yang personal.
Bagaimana satu media menghabisi salah satu calon lawan politiknya dan kemudian media lawan membalas dengan mengungkapakan keburukan calon dari media tersebut juga.
Yang menjadi kekuatiran adalah ketidaksiapan publik menangkap perubahan alam demokrasi tersebut; sehingga dapat memicu konflik horisontal antara para pemilih yang diakibatkan doktrin dan penggiringan opini secara berlebihan.
Media masih dianggap tunggangan bahkan senjata yang sempurna untuk sebuah suksesi di negeri ini; Tinggal bagaimana senjata itu dapat digunakan oleh syahwat sang pemilik media.
Mungkin benar, kata Sun Tzu dalam Art Of The War; bahwa siapa yang menguasai informasi maka dia lah yang akan menjadi pemenangnya.
Kuasailah informasi (media), maka kau dapat menjadi seperti apapun sesuai keinginan (pencitraan diri) sehingga orang akan tergerak untuk memilihmu. Memilih dalam kamuflase media, namun tertipu dalam kehidupan yang nyata.
(ADW/NDI)
Sumber: lingkarannews.com
2017 adalah masa dimana perang media untuk politik akan dimulai.
Setelah era pilpres 2014, media mulai belajar keberpihakan dan ikut menggiring opini untuk membangun pencitraan capres yang ada, kini publik pun berpikir media tak lebih sebagai pemuas syafwat politik dari para pemilik media.
2017 adalah start yang bagus untuk sebuah perang media untuk suksesi politik di negeri ini, test case untuk tahun 2019; karena pada 2017 daerah-daerah strategik di Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerahnya (Gubernur) seperti DKI Jakarta.
Media akan tergiring keberpihakannya kembali, sesuai keinginan dan kepentingan para pemilik modal yang berhasil mendekati sang pemilik media yang ada. Jangan salah! perang media yang terjadi saat ini akan benar benar mengidentifikasikan sebuah media itu hitam atau putih pada 2017 nya.
Diluar saat ini, media-media tersebut sudah jelas membawa bendera siapa; pada 2017 benturan akan terjadi lebih keras lagi.
Bukan hanya terletak kepada siapa yang bayar, tetapi juga kepada keberpihakan keinginan sang pemilik media itu sendiri kedepannya; apakah sang calon pemimpin yang dipilih akan menampung kepentingan media tersebut?
Publik belajar bagaimana Jokowi terikat dengan Metro TV dan Surya Paloh.
Akankah kedepannya pada 2017 hal itu berulang kepada Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan Metro TV dan Partai Nasdem nya? Dan terus digeber hingga target 2019?
Perang antar media pasti terjadi, perang dalam dimensi penggiringan opini publik untuk keberpihakan kepada salah satu calon yang ada; dan bisa saja sudah bersifat mengarah kepada hal hal yang personal.
Bagaimana satu media menghabisi salah satu calon lawan politiknya dan kemudian media lawan membalas dengan mengungkapakan keburukan calon dari media tersebut juga.
Yang menjadi kekuatiran adalah ketidaksiapan publik menangkap perubahan alam demokrasi tersebut; sehingga dapat memicu konflik horisontal antara para pemilih yang diakibatkan doktrin dan penggiringan opini secara berlebihan.
Media masih dianggap tunggangan bahkan senjata yang sempurna untuk sebuah suksesi di negeri ini; Tinggal bagaimana senjata itu dapat digunakan oleh syahwat sang pemilik media.
Mungkin benar, kata Sun Tzu dalam Art Of The War; bahwa siapa yang menguasai informasi maka dia lah yang akan menjadi pemenangnya.
Kuasailah informasi (media), maka kau dapat menjadi seperti apapun sesuai keinginan (pencitraan diri) sehingga orang akan tergerak untuk memilihmu. Memilih dalam kamuflase media, namun tertipu dalam kehidupan yang nyata.
(ADW/NDI)
Sumber: lingkarannews.com
0 Response to "2017, PERANG MEDIA DEMI SUKSESI POLITIK DIMULAI "
Posting Komentar