Jumat, 26 Februari 2016 | 18:56 WIB
Akankah
Inggris mengubur persatuan Eropa? Keluarnya negeri kepulauan itu
diyakini tidak cuma akan memicu krisis ekonomi, tapi juga runtuhnya Uni
Eropa.
Dalam beberapa waktu terakhir, Uni Eropa sedang sibuk memprediksi berbagai skenario masa depan tanpa keanggotaan Inggris.
Adalah seorang pria tambun berambut pirang acak-acakan yang awal pekan silam memicu gelombang spekulasi tanpa henti.
Kabar bahwa Boris Johnson memutuskan berkampanye agar Inggris keluar dari Uni Eropa tidak cuma menggoyang pasar, tapi juga lanskap politik di Brussels.
Pasalnya, Wali Kota London yang digadang bakal menggeser David Cameron sebagai Perdana Menteri itu adalah politisi paling populer di Inggris.
Maka keterlibatannya dalam kampanye anti UE menggandakan peluang negeri kepulauan itu untuk keluar dari Uni Eropa.
Sejak saat itu pasar berlomba-lomba membuat spekulasi. Nilai mata uang Poundsterling terhadap Dollar AS anjlok ke level terendah sejak tujuh tahun.
Sebanyak 200 perusahaan papan atas Inggris, antara lain Jaguar, Vodafone dan Shell, membuat imbauan agar penduduk mendukung keanggotaan Uni Eropa atau perekonomian terancam kehilangan dana investasi dan lapangan kerja.
Dalih terkuat kelompok yang mendukung Uni Eropa adalah pasar bersama yang menjanjikan akses terhadap 500 juta konsumen di 27 negara.
Sementara, keluar dari UE berarti biaya tambahan berupaya bea cukai untuk produk-produk Inggris.
Lembaga rating Moody's bahkan mewanti-wanti keluarnya Inggris akan berimbas negatif pada kepercayaan pasar.
Namun, kelompok anti UE bukan tanpa dalih tandingan. Mereka beralasan tanpa birokrasi Eropa, yang ketat dan berbelit, perekonomian Inggris akan lebih bebas menentukan mitra dagangnya sendiri.
Kelompok yang antara lain didukung pendiri Reebok Joe Foster itu mengimpikan sebuah perekonomian independen seperti Singapura.
Berdasarkan berbagai hasil jajak pendapat, krisis pengungsi dan serbuan buruh migran dari negara-negaa miskin Uni Eropa adalah isu terbesar buat kelompok yang menolak Uni Eropa.
Wacana tersebut diperkuat dengan sikap negara lain Eropa seperti Jerman yang cenderung mengabaikan permintaan London untuk mengontrol perbatasan dan mengakhiri butir kebebasan berpergian untuk warga EU.
Ditanggapinya Boris Johnson pun bisa dilihat pada gelombang politik yang muncul menjelang referendum 23 Juni mendatang. Skotlandia yang pro Uni Eropa misalnya kembali meniupkan isu referendum kemerdekaan.
"Saya kira itu akan menjadi tuntutan penduduk Skotlandia," tutur Nicola Sturgeon, Menteri Pertama Skotlandia.
Namun kekhawatiran terbesar adalah bahwa keluarnya Inggris akan memicu eksodus negara-negara lain yang akan mengakibatkan runtuhnya Uni Eropa.
Republik Ceko dan Belanda bahkan sudah berniat menggelar refendum serupa.
Perdana Menteri Republik Ceko, Bohuslav Sobotka, misalnya mewanti-wanti negaranya akan mengikuti Inggris jika negeri kepulauan itu memutuskan berpisah dari Eropa.
Smentara, sebuah jajak pendapat di Belanda menyebut sebanyak 53 persen penduduk mendukung digelarnya referendum keanggotaan Uni Eropa. Presiden Polandia Andrzej Duda pun mengingatkan dampak negatif jika Inggris keluar.
"Kami kira hal itu akan memicu krisis besar atau bahkan runtuhnya Uni Eropa," tutur dia.
0 Response to "Akankah Referendum Inggris Picu Runtuhnya Uni Eropa?"
Posting Komentar