Minggu, 28 Februari 2016 / 19:44 WIB
JAKARTA.
Dua tahun berjalannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih
menuai banyak catatan. Beberapa persoalan yang perlu segera diperbaiki
tersebut antara lain mengenai regulasi tarif, jenis pelayanan yang
diberikan, sistem rujukan ketersediaan obat, kualitas Rumah Sakit (RS)
serta verifikasi klaim Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan seharusnya bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) tetapi dirujuk di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL). Hal ini tentu mengakibatkan pembiayaan kesehatan menjadi naik tidak terkendali.
Idealnya dalam pelaksanaan JKN 80% kasus selesai di FKTP, dan 20% terselesaikan di FKTL. Namun, berdasarkan data yang ada justru 80% dana habis di FKTL, sedangkan hanya 20% dana habis di tingkat FKTP.
Ketua Bidang Advokasi dan Monev Terapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) IDI Prasetyo Widhi Buwono mengatakan, tingginya angka rujukan tersebut dapat disebabkan karena beberapa hal yakni kurangnya kompetensi dokter serta ketidak tersediaan obat dan alat kesehatan di FKTP.
Ketersediaan obat sebenarnya sudah diatur dalam Formas atau Formularium Nasional. IDI berharap ketersediaan obat dan alat kesehatan di pelayanan sehingga tidak terjadi kekosongan obat di pelayanan untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuknya obat tersebut di Formas.
Catatan lain adalah mengenai tarif INA CBGs untuk kasus tertentu sehingga disparitas tarif antara rawat inap dan rawat jalan yang rendah. Walhasil beban pelayanan di Rumah Sakit pemerintah menjadi membengkak. "Kelemahan-kelemahan di dua tahun JKN ini tentu tidak memuaskan sebagian masyarakat," kata Prasetyo, akhir pekan lalu.
Masukan IDI yang lain adalah penyusunan panduan kompensasi jasa medis dokter. Pembagian jasa medis dokter di layanan primer berbagai profesi di FKTP sudah diatur pembagiannya dengan lebih jelas dibandingkan faskes tingkat lanjutan yang hanya disebutkan jasa pelayanan 30%-50% dari total klaim BPJS di Rumah Sakit.
Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh peraturan daerah di masing-masing RSUD, yang sering kali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter. Saat ini IDI tengah menyusun panduan jasa medis sehingga lebih transparan dan berkeadilan.
"IDI sedang susun panduan remunerasi yang layak, berdasarkan komponen profesional dokter, komplikasi, lokasi dan lain-lain," kata Noor Arida Sofiyan, Sekretaris Bidang Advokasi dan Monev terapan JKN.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai, JKN identik dengan penataan sistem rujukan. Tingginya kasus rujukan seharusnya bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) tetapi dirujuk di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL). Hal ini tentu mengakibatkan pembiayaan kesehatan menjadi naik tidak terkendali.
Idealnya dalam pelaksanaan JKN 80% kasus selesai di FKTP, dan 20% terselesaikan di FKTL. Namun, berdasarkan data yang ada justru 80% dana habis di FKTL, sedangkan hanya 20% dana habis di tingkat FKTP.
Ketua Bidang Advokasi dan Monev Terapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) IDI Prasetyo Widhi Buwono mengatakan, tingginya angka rujukan tersebut dapat disebabkan karena beberapa hal yakni kurangnya kompetensi dokter serta ketidak tersediaan obat dan alat kesehatan di FKTP.
Ketersediaan obat sebenarnya sudah diatur dalam Formas atau Formularium Nasional. IDI berharap ketersediaan obat dan alat kesehatan di pelayanan sehingga tidak terjadi kekosongan obat di pelayanan untuk jenis penyakit tertentu karena tidak masuknya obat tersebut di Formas.
Catatan lain adalah mengenai tarif INA CBGs untuk kasus tertentu sehingga disparitas tarif antara rawat inap dan rawat jalan yang rendah. Walhasil beban pelayanan di Rumah Sakit pemerintah menjadi membengkak. "Kelemahan-kelemahan di dua tahun JKN ini tentu tidak memuaskan sebagian masyarakat," kata Prasetyo, akhir pekan lalu.
Masukan IDI yang lain adalah penyusunan panduan kompensasi jasa medis dokter. Pembagian jasa medis dokter di layanan primer berbagai profesi di FKTP sudah diatur pembagiannya dengan lebih jelas dibandingkan faskes tingkat lanjutan yang hanya disebutkan jasa pelayanan 30%-50% dari total klaim BPJS di Rumah Sakit.
Pada umumnya jasa medis dokter di RSUD ditentukan oleh peraturan daerah di masing-masing RSUD, yang sering kali kurang layak dalam menghargai jerih payah dokter. Saat ini IDI tengah menyusun panduan jasa medis sehingga lebih transparan dan berkeadilan.
"IDI sedang susun panduan remunerasi yang layak, berdasarkan komponen profesional dokter, komplikasi, lokasi dan lain-lain," kata Noor Arida Sofiyan, Sekretaris Bidang Advokasi dan Monev terapan JKN.
0 Response to "Sejumlah catatan pelaksanaan program JKN"
Posting Komentar