JAKARTA.
Presiden Joko Widodo memerintahkan tiga langkah yang harus dipersiapkan
dalam upaya pencegahan dan pengawasan terhadap aksi penggelapan pajak
maupun pencucian uang.
Hal ini merupakan hasil rapat terbatas yang diikuti sejumlah instasi seperti Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian RI, serta Kementerian Perindustrian di Kantor Kepresidenan pada Senin (21/3) petang.
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan rincian ketiga hal yang diperintahkan presiden yakni, pertama PPTAK, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, serta BNN bersinergi dalam penggunaan data dan informasi terkait wajib pajak (WP). Keempat instansi ini diperintahkan menggunakan data yang sama.
"Karena data bersama ini yang akan ditindaklanjuti sebagai tolak ukur untuk melihat objek pajak. Data awal paling utama tentunya selain dari Ditjen Pajak juga bisa dari PPATK," kata Pramono Anung usai mengikuti rapat tersebut.
Kedua, Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak diperintahkan untuk segera memberbaiki fasilitas teknologi dan informasi sehingga bisa terintegrasi. Dengan demikian, pengelolaan data tidak lagi bersifat manual yang berpotensi saling berbeda-beda hasilnya.
Pemerintah meyakini perbaikan sistem IT akan berdampak positif meningkatkan tingkat rasio pajak atawa tax ratio. "Tax ratio kita masih sekitar 11%, Presiden menginginkan dalam waktu ke depan tax ratio bisa ditingkatkan di atas 12% -13%, bahkan sampai 15%," kata dia.
Terakhir, Presiden meminta aparat penegak hukum serta Kemkeu untuk mempersiapkan diri perubahan sistem keuangan dan perpajakan pada 2018 mendatang. Menurut Pramono, nantinya ketika, sistem perpajakan dunia akan sangat terbuka sehingga penyimpanan uang di negara mana saja akan bisa terlihat datanya.
"Sebenarnya, ini juga kesempatan bagi siapapun yang saat ini masih menyimpan uangnya di luar untuk segera berkoordinasi dengan Menkeu dan Ditjen Pajak, agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari," kata Pramono.
Hal ini merupakan hasil rapat terbatas yang diikuti sejumlah instasi seperti Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian RI, serta Kementerian Perindustrian di Kantor Kepresidenan pada Senin (21/3) petang.
Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan rincian ketiga hal yang diperintahkan presiden yakni, pertama PPTAK, Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, serta BNN bersinergi dalam penggunaan data dan informasi terkait wajib pajak (WP). Keempat instansi ini diperintahkan menggunakan data yang sama.
"Karena data bersama ini yang akan ditindaklanjuti sebagai tolak ukur untuk melihat objek pajak. Data awal paling utama tentunya selain dari Ditjen Pajak juga bisa dari PPATK," kata Pramono Anung usai mengikuti rapat tersebut.
Kedua, Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak diperintahkan untuk segera memberbaiki fasilitas teknologi dan informasi sehingga bisa terintegrasi. Dengan demikian, pengelolaan data tidak lagi bersifat manual yang berpotensi saling berbeda-beda hasilnya.
Pemerintah meyakini perbaikan sistem IT akan berdampak positif meningkatkan tingkat rasio pajak atawa tax ratio. "Tax ratio kita masih sekitar 11%, Presiden menginginkan dalam waktu ke depan tax ratio bisa ditingkatkan di atas 12% -13%, bahkan sampai 15%," kata dia.
Terakhir, Presiden meminta aparat penegak hukum serta Kemkeu untuk mempersiapkan diri perubahan sistem keuangan dan perpajakan pada 2018 mendatang. Menurut Pramono, nantinya ketika, sistem perpajakan dunia akan sangat terbuka sehingga penyimpanan uang di negara mana saja akan bisa terlihat datanya.
"Sebenarnya, ini juga kesempatan bagi siapapun yang saat ini masih menyimpan uangnya di luar untuk segera berkoordinasi dengan Menkeu dan Ditjen Pajak, agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari," kata Pramono.
0 Response to "Tiga perintah presiden soal pencucian uang"
Posting Komentar