Penulis: H. Luthfi Hidayat*
Awal tahun 2016, tepatnya tanggal 14 Januari, meletuplah bom di Jalan Thamrin. Letupan bom di seputar Sarinah ini merupakan babak baru proyek terorisme tahun ini.
Sampai detik ini siapa pelaku bom yang sesungguhnya tidak jelas. Dan memang sepertinya sengaja dibuat tidak jelas. Pihak kepolisian pun sepertinya tidak serius mengusut tuntas siapa pelaku. Pengusutan pelaku teroris sepertinya sudah cukup dengan cuap-cuapnya “dukun terorisme” Nasir Abbas di TV. Dan sudah bisa ditebak arahan kambing hitam, ISIS.
Yang berlanjut justru opini desakan kepada pemerintah agar melakukan revisi UU Terorisme. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan mendesak DPR agar segera membahas dan memproses revisi UU Terorisme. Luhut mengatakan pemerintah dalam hal ini Polisi, TNI dan BIN perlu landasan hukum untuk membatasi ruang gerak para teroris.
Berikutnya, proyek tidak akan sempurna dan berjalan mulus kecuali dengan tambahan fulus. Beberapa hari kemudian, Luhut mengatakan, pemerintah menyiapkan alokasi anggaran hingga Rp 1,9 triliun untuk itu. “Sebelumnya, saya sudah lapor Presiden (Jokowi), tadi lapor Wapres (Jusuf Kalla), sudah setuju,” ujarnya (www.seputarkndonesia.info).
Dalam proyek ini, dua organisasi bentukan pemerintah yang paling massif adalah BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan Densus (Detasemen Khusus) 88.
Keduanya benar-benar berbagi peran dalam menteror umat Islam. Kenapa dikatakan demikian? Karena sasaran proyek tersebut selama ini hampir 100% adalah umat Islam. Sudah teramat banyak bukti untuk persoalan itu. BNPT melakukan terror “soft power”, sementara Densus 88 tukang gebuk, tukang siksa, bahkan tukang bunuh umat Islam di lapangan dengan alasan terduga pelaku terorisme.
BNPT melakukan teror dan propaganda dari sisi pemikiran yang selalu tendensius pada Islam dan lembaga-lembaga Islam. BNPT selalu dan terus berupaya mengkaitkan isu terorisme kepada Islam dan kaum muslimin. Konsep pemikiran radikal (mengakar) dikesankan negatif, di-monster-isasi oleh BNPT. Dan moncong program deradikalisasi pun juga selalu dialamatkan pada lembaga-lembaga Islam.
Beberapa saat yang lalu BNPT menyatakan ada 19 pondok pesantren yang terindikasi sarat dengan aktivitas radikalisme di Indonesia. Kepala BNPT saat itu, Saud Usman menuturkan, pondok pesantren tersebut tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan, Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar, hingga Poso. “Ini yang kami profiling banyak berlangganan dengan aktifitas radikalisme,” ujar Saud usai Menjadi pembicara dalam Acara Diskusi di kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Pusat, Selasa (2016/02/02).
Penyataan ngawur dan ahistoris ini kontan membuat geram para ulama. BNPT bahkan disebut sebagai Badan Nasional Penebar fitnah. Tudingan BNPT tersebut jelas sangat melukai hati umat Islam. Ini jelas teror pemikiran. Omongan Saud Usman Nasution itu menyakiti hati para tokoh Islam, kyai, alumi pesantren, santri-santri yang ada di negeri ini, dan seluruh kaum muslimin.
Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa pesantren itu mengajarkan tentang akhlak mulia. “Saya masih ragu, di mana pesantren yang mengajarkan kekerasan itu” ujarnya. (03/02/2016) di Gedung MUI, Jakarta Pusat. Kyai Ma’ruf memandang aneh jika pesantren mengajarkan kekerasan. “Saat ini pesantren itu mengajarkan akhlak mulia, apalagi akhlak kepada orang tua, kepada guru. Akhlaq mulia kok dibilang kekerasan,” tegasnya.
BNPT seolah buta dan tuli atas jasa-jasa lembaga Pesantren di negeri ini. Sejarah Indonesia sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran dan pejuangan ulama yang dihasilkan dari pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Sejarah juga mencatat, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa penting bangsa Indonesia, baik sejarah sosial, budaya, ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. Sejak masa awal kedatangan Islam, hingga masa penjajahan Belanda, masa kemerdekaan hingga kini, pesantren telah menyumbang sejuta jasa yang tak ternilai harganya bagi Indonesia.
Sementara secara “hard power” di lapangan Densus 88 secara kasar dan arogan sibuk meneror, menyiksa, bahkan membunuhi kaum muslim dengan alasan terduga terorisme. Kita semua setuju dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme. Namun lakon yang dilakukan oleh Densus sangat tidak profesional . Terlalu sering salah tangkap dengan bukti yang mengada-ada. Kejam seperti penjajah, ada skenario seperti sinetron, dan bahkan terkesan sekali kejar target proyek.
Ketua Ketua PP Muhammadiyah dan mantan ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut cara-cara Densus dalam menangani terduga terorisme tidak beda seperti pemberantasa komando jihad (komji). “Ya itu gaya operasi pemberantasan terhadap Komando Jihad (Komji). “Ya seperti mengopi saja. Tak ada beda dengan zaman penumpasan Komji. Semuanya serba masif, terstruktur, dan sistematif. Di era Komji dan sekarang kok masih mirip atau sama saja, ya,” ujar Busyro.
Busyro yang pada era 1980-an menangani dan membela kasus para terduga pengikut Komji mengaku paham betul apa dan siapa organisasi ini. Dia menyatakan, Komji itu muncul sebagai buah dari operasi intelijen pada masa Orde Baru yang komandonya langsung ditangani mendiang Kepala Operasi Khusus dan mantan menteri penerangan, Ali Moertopo. (Republika.co.id).
Terhadap polah tingkah Densus 88, tokoh Masyarakat Poso Adnan Arsal menyatakan bahwa gaya pembunuhan Densus 88, seperti penjajah. “Sepertinya polisi dalam hal ini Densus 88 paradigmanya tidak berubah, sehingga kadang kita katakan operasi Densus 88 sama seperti penjajah Belanda atau Jepang, yang tidak ada perikemanusiaan,” ungkapnya kepada mediaumat.com.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Netta S Pane menyebut kinerja Detasemen Khusus (Densus) 88 pada aksi penembakan terduga teroris malah seperti sinetron. Ia mengatakan, unsur penegakan hukum tak terlihat dalam aksi penembakan itu. Ia mengaku kecewa karena Densus 88 tak lagi mengutamakan fungsi pokok kepolisian, yaitu penangkapan target. Menurutnya, aksi penembakan terhadap setidaknya 116 terduga teroris, seperti dalam data Komnas HAM, malah tak menunjukkan adanya penegakan hukum. Apalagi, banyak kemungkinan salah tembak.
Terhadap anak kecil –yang tidak mungkin melakukan aksi terror— . Densus 88 juga berbuat sangat arogan. Persis arogan nya Tentara Yahudi Israel dihadapan anak-anak, perempuan, dan nenek-nenek di Palestina. Densus 88 dengan senjata laras panjang pada Kamis (10/03) pagi melakukan penggrebekan di TK Amanah Ummah Klaten untuk mencari bukti tambahan atas penangkapan Siyono. Sontak, siswa siswi TK yang di dalamnya menangis ketakutan melihat aksi Densus itu. Ini jelas teror terhadap anak-anak.
KH Arifin Ilham menyatakan apa yang dilakukan Densus ini adalah sebuah tindak kezaliman. “Astaghfirullah kembali tindakan zholim dilakukan Densus 88 terhadap umat mulia ini, berulang dan terus berulang dg dalih teroris langsung tangkap, tembak, siksa, bunuh tanpa hak bela, tanpa bukti, tanpa pengadilan. “
Kematian Siyono (39 tahun) yang menjadi terduga teroris setelah ditangkap oleh Densus 88 kembali menambah daftar panjang tidak transparan dan akuntabelnya operasi pemberantasan terorisme.
Pengamat terorisme, Haris Abu Ulya, mengatakan, selama ini masyarakat sudah mengindikasi adanya tindakan yang tidak sesuai oleh Densus 88. “Kalau Densus mau jujur buka data, setidaknya ada 120-an orang yang tewas dalam operasi terorisme di luar pengadilan,” kata dia kepada Republika.co.id.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Maneger Nasution mengungkapkan, Komnas HAM sudah menerima 118 laporan terduga teroris yang ditembak mati tanpa proses pemeriksaan. “Bisa dibilang lebay BNPT dan Densus 88 dalam melakukan tindak pemberantasan terorisme,” kata Maneger (SI Online).
Apa yang dilakukan oleh BNPT dan Densus 88 nyata-nyata adalah teros fisik dan pemikiran terhadap umat Islam. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya persis dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Maling teriak maling. Amerika berteriak teroris ke semua negeri Islam, namun di saat yang sama justru ia meneror dan membunuh umat Islam baik secara fisik maupun non fisik.
Sehingga wajar ada yang mempertanyakan bahwa proyek terorisme di negeri ini sebenarnya untuk kepntingan siapa?
Darah umat Islam kembali tertumpah sia-sia tanpa ada tebusan (diyat). Semua ini terjadi dan tidak mustahil akan terjadi lagi, dan terus berulang, selama kita hidup dalam zaman kezhaliman seperti sekarang ini.
BNPT dan Densus 88 harus dibubarkan itu pasti. Karena dua organisasi inilah yang saat ini nyata-nyata menterir umat Islam. Namun lebih dari itu, kita juga harus memiliki payung untuk melindungi darah, kehormatan, dan agama kita. Agar kita tidak terus diteror secara fisik maupun non fisik.
*Dikutip dari: http://www.kiblat.net/2016/03/17/bnpt-dan-densus-88-berbagi-peran-meneror-umat-islam/
0 Response to "[OPINI] BNPT dan Densus 88 Berbagi Peran Meneror Umat Islam"
Posting Komentar