Senin, 13 April 2015 | 09:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari
Populi Center Nico Harjanto mengkritik pidato Ketua Umum DPP PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam penutupan Kongres IV PDI-P, di
Sanur, Bali, pekan lalu. Nico menilai, pernyataan-pernyataan Megawati
tidak mencerminkan semangat keberpihakan kepada wong cilik dan
nilai-nilai demokrasi. Megawati disebut hanya hidup dalam narasi dan
mimpi kebesaran pribadinya sebagai anak proklamator tanpa mewarisi nilai
dari sang ayah, Soekarno. (Baca: Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!)
Menurut dia, pernyataan-pernyataan Megawati tak mencerminkan semangat keegaliteran ayahnya, Soekarno.
"Diksi yang dipakai semakin mencerminkan pudarnya semangat keegaliteran Soekarno dan berganti menjadi diksi kediktatoran Soeharto. Megawati lama-lama mirip Soeharto daripada Soekarno," ujar Nico kepada Kompas.com, Sabtu (11/4/2015).
Dalam salah satu bagian pidatonya, Megawati menekankan kepada semua kader PDI-P yang duduk di eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sejalan dengan garis perjuangan partai. Jika tak mau disebut sebagai petugas partai, Megawati mengatakan, sebaiknya kader tersebut keluar dari partai.
"Masa ngomong kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar. Ini kan sama dengan Soeharto yang bilang, kalau enggak mau terima Pancasila, gebuk," kata Nico.
Selain itu, Nico juga mempertanyakan kebijakan PDI-P yang menyingkirkan kader-kader yang selama ini dianggap berkontribusi baik terhadap partai. PDI-P justru memasukkan sejumlah nama yang terjerat kasus dugaan korupsi.
"Megawati membusukkan PDI-P dari dalam dengan mengakomodasi eks kader atau yang saat ini kena kasus. Padahal, sebagai partai ideologis, loyalitas utama itu ada pada nilai yang dianut kader, bukan pada kemauan pribadi sang ketua umum," ujar Nico.
Beberapa nama tersingkir dari kepengurusan PDI-P, salah satunya Maruarar Sirait. Sementara itu, Rokhmin Dahuri masuk sebagai salah satu Ketua DPP PDI-P. Ia pernah divonis tujuh tahun penjara atas kasus korupsi dana non-bujeter saat menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Nama lainnya dalam kepengurusan DPP PDI-P adalah Bambang Dwi Hartono, yang merupakan tersangka korupsi dana Jasa Pungut senilai Rp 720 juta, dan Idham Samawi, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi melalui pencairan dana hibah Persiba Bantul senilai Rp 12,5 miliar. Demikian pula Olly Dondokambey, yang beberapa kali dikaitkan dalam kasus dugaan korupsi Hambalang.
Menurut dia, pernyataan-pernyataan Megawati tak mencerminkan semangat keegaliteran ayahnya, Soekarno.
"Diksi yang dipakai semakin mencerminkan pudarnya semangat keegaliteran Soekarno dan berganti menjadi diksi kediktatoran Soeharto. Megawati lama-lama mirip Soeharto daripada Soekarno," ujar Nico kepada Kompas.com, Sabtu (11/4/2015).
Dalam salah satu bagian pidatonya, Megawati menekankan kepada semua kader PDI-P yang duduk di eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sejalan dengan garis perjuangan partai. Jika tak mau disebut sebagai petugas partai, Megawati mengatakan, sebaiknya kader tersebut keluar dari partai.
"Masa ngomong kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar. Ini kan sama dengan Soeharto yang bilang, kalau enggak mau terima Pancasila, gebuk," kata Nico.
Selain itu, Nico juga mempertanyakan kebijakan PDI-P yang menyingkirkan kader-kader yang selama ini dianggap berkontribusi baik terhadap partai. PDI-P justru memasukkan sejumlah nama yang terjerat kasus dugaan korupsi.
"Megawati membusukkan PDI-P dari dalam dengan mengakomodasi eks kader atau yang saat ini kena kasus. Padahal, sebagai partai ideologis, loyalitas utama itu ada pada nilai yang dianut kader, bukan pada kemauan pribadi sang ketua umum," ujar Nico.
Beberapa nama tersingkir dari kepengurusan PDI-P, salah satunya Maruarar Sirait. Sementara itu, Rokhmin Dahuri masuk sebagai salah satu Ketua DPP PDI-P. Ia pernah divonis tujuh tahun penjara atas kasus korupsi dana non-bujeter saat menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Nama lainnya dalam kepengurusan DPP PDI-P adalah Bambang Dwi Hartono, yang merupakan tersangka korupsi dana Jasa Pungut senilai Rp 720 juta, dan Idham Samawi, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi melalui pencairan dana hibah Persiba Bantul senilai Rp 12,5 miliar. Demikian pula Olly Dondokambey, yang beberapa kali dikaitkan dalam kasus dugaan korupsi Hambalang.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Penulis | : Fabian Januarius Kuwado |
Editor | : Inggried Dwi Wedhaswary |
0 Response to "Keberpihakan Megawati dan PDI-P terhadap "Wong Cilik" Dipertanyakan"
Posting Komentar