Perusakan masjid akibat aturan daerah diskriminatif.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diluncurkan United Nation Development Programme
mencatat ada belasan peraturan daerah diskriminatif pada tiga provinsi,
yakni Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat.
IDI terbaru itu diluncurkan Maret 2016, dan merupakan alat untuk memotret kemajemukan Indonesia sebagai indikator penting demokrasi. UNDP menyusun indeks tersebut bersama pemerintah Indonesia sejak 2009.
âDiskriminasi atas dasar agama lebih kuat dibanding diskriminasi atas dasar gender, etnis dan kelompok rentan,â demikian keterangan IDI yang dikutip Selasa, (14/6).
Terkait aturan diskriminatif tersebut, IDI mencatat paling sedikit terdapat 14 aturan daerah diskriminatif di pelbagai provinsi itu. Kalimantan Selatan misalnya memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara No. 32/2003 tentang Pencegahan dan Pelarangan Kegiatan yang Menodai Kesucian Bulan Ramadan.
Lainnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 10/2001 tentang Membuka Restoran, Warung, Rombong serta Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum pada Ramadan. Ada pula Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 8/2005 tentang Jumat Khusyuk.
Di Nusa Tenggara Barat, salah satu aturan diskriminatif adalah Surat Keputusan No. Kep II/IPK.32.2/L-2.III.3/II/83 tentang Pelarangan Ahmadiyah. Ada pula Surat Keputusan Bupati Dompu No.kd.19.05/HM.00/1330/2004 tentang Wajib Baca Alquran. Juga Peraturan Daerah Kabupaten Dompu No.III/2004 tentang Tata Cara Pemilihan Kades yang memuat kewajiban agar bisa membaca Alquran.
Terakhir, di Sumatra Barat antara lain terdapat Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi Nomor 20/2003 tentang Penertiban dan Penindakan Penyakit Masyarakat. Ada pula Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No. 22/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Siswa, Mahasiswa, dan Karyawan. Selain itu, Peraturan Daerah Kota Solok No. 6/2002 tentan Wajib Berbusana Muslimah.
Terkait hal itu, IDI mencatat tiga provinsi itu sebagai wilayah yang memiliki indeks kebebasan sipil terendah, yakni di bawah 60. Sementara indeks tertinggi mencapai lebih dari 80.
IDI terbaru itu diluncurkan Maret 2016, dan merupakan alat untuk memotret kemajemukan Indonesia sebagai indikator penting demokrasi. UNDP menyusun indeks tersebut bersama pemerintah Indonesia sejak 2009.
âDiskriminasi atas dasar agama lebih kuat dibanding diskriminasi atas dasar gender, etnis dan kelompok rentan,â demikian keterangan IDI yang dikutip Selasa, (14/6).
Terkait aturan diskriminatif tersebut, IDI mencatat paling sedikit terdapat 14 aturan daerah diskriminatif di pelbagai provinsi itu. Kalimantan Selatan misalnya memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara No. 32/2003 tentang Pencegahan dan Pelarangan Kegiatan yang Menodai Kesucian Bulan Ramadan.
Lainnya adalah Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 10/2001 tentang Membuka Restoran, Warung, Rombong serta Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum pada Ramadan. Ada pula Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 8/2005 tentang Jumat Khusyuk.
Di Nusa Tenggara Barat, salah satu aturan diskriminatif adalah Surat Keputusan No. Kep II/IPK.32.2/L-2.III.3/II/83 tentang Pelarangan Ahmadiyah. Ada pula Surat Keputusan Bupati Dompu No.kd.19.05/HM.00/1330/2004 tentang Wajib Baca Alquran. Juga Peraturan Daerah Kabupaten Dompu No.III/2004 tentang Tata Cara Pemilihan Kades yang memuat kewajiban agar bisa membaca Alquran.
Terakhir, di Sumatra Barat antara lain terdapat Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi Nomor 20/2003 tentang Penertiban dan Penindakan Penyakit Masyarakat. Ada pula Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No. 22/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi Siswa, Mahasiswa, dan Karyawan. Selain itu, Peraturan Daerah Kota Solok No. 6/2002 tentan Wajib Berbusana Muslimah.
Terkait hal itu, IDI mencatat tiga provinsi itu sebagai wilayah yang memiliki indeks kebebasan sipil terendah, yakni di bawah 60. Sementara indeks tertinggi mencapai lebih dari 80.
0 Response to "Tiga Provinsi Tercatat Berlimpah Perda Diskriminatif"
Posting Komentar