Minggu, 14 Februari 2016 / 17:43 WIB
JAKARTA. Harga minyak mentah West Texas
Intermediate (WTI) pada Sabtu (13/2) kemarin untuk pengiriman Maret
mencapai US$ 29,44 per barel di New York Mercantile Exchange. Harga
minyak yang belum menyentuh level US$ 30 per barel ini membawa
kekhawatiran apakah usaha hulu migas masih bisa bertahan di bawah harga
minyak yang terus tertekan.
Direktur Pembinaan Program Ditjen Migas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi bilang harga minyak saat ini yang berkisar US$ 30 per barel sangat tipis dengan biaya produksi usaha hulu migas. Biaya produksi migas saat ini rata-rata sudah mencapai US$ 30 per barel, bahkan ada lapangan migas yang biaya produksinya mencapai US$ 50 per barel.
Dengan begitu perusahaan migas saat ini cukup menderita dengan kondisi harga minyak yang rendah. "Hulu menderita, pemerintah tidak dapat apa-apa dong dari kegiatan usaha hulu. Pendapatan negara dari operasi kegiatan usaha hulu migas bisa nol," kata Agus di Dewan Pers, Minggu (14/2).
Maklum, industri hulu migas yang dua tahun lalu bisa mendapatkan harga minyak berkisar US$ 100 per barel saat ini hanya mendapatkan harga berkisar US$ 30 per barel. Untuk itu harapannya harga minyak dunia bisa naik hingga mencapai US$ 35 per barel hingga US$ 50 per barel.
Dengan harga US$ 50 per barel perusahaan produsen migas akan cukup nyaman dalam melakukan kegiatan usaha produksi dan eksploritasi migas.
Namun karena harga minyak belum juga naik, Agus pun mengatakan perusahaan hulu migas harus melakukan efisiensi superketat. Maklum, hingga saat ini pemerintah masih belum menetapkan insentif yang akan diberikan kepada kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Padahal Indonesian Petroleum Association (IPA) telah mengusulkan sejumlah poin insentif untuk membantu KKKS dalam menghadapi rendahnya harga minyak.
I.G.N Wiratmaja Puja, Direktur Jenderaal Migas Kementerian ESDM beralasan, pemerintah harus melakukan kordinasi dengan banyak stakeholder terlebih dahulu untuk membuat regulasi untuk memberikan insentif kepada KKKS.
Sementara itu, Agus menyebut saat ini pemerintah memang belum memberikan insentif. Pemerintah justru meminta KKKS agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya.
"Insentif yang dilakukan kan ada perpajakan yang serta merta mengikuti juga. Paling penting tidak melakukan PHK. Mereka melakukan cost efisiensi di perusahaan mereka,"tegas Agus.
Sementara itu Wianda Pusponegoro, VP Communication PT Pertamina (persero) mengatakan Pertamina sebagai salah satu KKKS memang terus melakukan efisienai biaya agar biaa mendapatkan quick yield return dalam kegiatan ekplorasi dan produksi migas. Di sisi lain, pihaknya pun selalu berdiskusi dengan pemerintah di tengah situasi harga minyak yang cukup menantang biarpun insentif belum juga diberikan.
"Kami biasa berdiskusi dan dialog bersama pemerintah apalagi SKK Migas berada dibawah ESDM, satu kementerian teknis dengan Pertamina,"kata Wianda menanggapi masih belum adanya intensif bagi KKKS.
Direktur Pembinaan Program Ditjen Migas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi bilang harga minyak saat ini yang berkisar US$ 30 per barel sangat tipis dengan biaya produksi usaha hulu migas. Biaya produksi migas saat ini rata-rata sudah mencapai US$ 30 per barel, bahkan ada lapangan migas yang biaya produksinya mencapai US$ 50 per barel.
Dengan begitu perusahaan migas saat ini cukup menderita dengan kondisi harga minyak yang rendah. "Hulu menderita, pemerintah tidak dapat apa-apa dong dari kegiatan usaha hulu. Pendapatan negara dari operasi kegiatan usaha hulu migas bisa nol," kata Agus di Dewan Pers, Minggu (14/2).
Maklum, industri hulu migas yang dua tahun lalu bisa mendapatkan harga minyak berkisar US$ 100 per barel saat ini hanya mendapatkan harga berkisar US$ 30 per barel. Untuk itu harapannya harga minyak dunia bisa naik hingga mencapai US$ 35 per barel hingga US$ 50 per barel.
Dengan harga US$ 50 per barel perusahaan produsen migas akan cukup nyaman dalam melakukan kegiatan usaha produksi dan eksploritasi migas.
Namun karena harga minyak belum juga naik, Agus pun mengatakan perusahaan hulu migas harus melakukan efisiensi superketat. Maklum, hingga saat ini pemerintah masih belum menetapkan insentif yang akan diberikan kepada kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Padahal Indonesian Petroleum Association (IPA) telah mengusulkan sejumlah poin insentif untuk membantu KKKS dalam menghadapi rendahnya harga minyak.
I.G.N Wiratmaja Puja, Direktur Jenderaal Migas Kementerian ESDM beralasan, pemerintah harus melakukan kordinasi dengan banyak stakeholder terlebih dahulu untuk membuat regulasi untuk memberikan insentif kepada KKKS.
Sementara itu, Agus menyebut saat ini pemerintah memang belum memberikan insentif. Pemerintah justru meminta KKKS agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya.
"Insentif yang dilakukan kan ada perpajakan yang serta merta mengikuti juga. Paling penting tidak melakukan PHK. Mereka melakukan cost efisiensi di perusahaan mereka,"tegas Agus.
Sementara itu Wianda Pusponegoro, VP Communication PT Pertamina (persero) mengatakan Pertamina sebagai salah satu KKKS memang terus melakukan efisienai biaya agar biaa mendapatkan quick yield return dalam kegiatan ekplorasi dan produksi migas. Di sisi lain, pihaknya pun selalu berdiskusi dengan pemerintah di tengah situasi harga minyak yang cukup menantang biarpun insentif belum juga diberikan.
"Kami biasa berdiskusi dan dialog bersama pemerintah apalagi SKK Migas berada dibawah ESDM, satu kementerian teknis dengan Pertamina,"kata Wianda menanggapi masih belum adanya intensif bagi KKKS.
0 Response to "Produsen migas menderita, insentif belum diberikan"
Posting Komentar