"Wahai para nona dan nyonya, karir tertinggi seorang perempuan adalah ibu"


Pandangan sebagian gadis-gadis muda sekarang tentang tugas dan pekerjaan istri, cukup memprihatinkan. Dari beberapa statusnya, mereka menganggap pekerjaan masak, bersih-bersih rumah, ngurus anak, ngurus suami, itu pekerjaan pembantu. Dan kalau ada laki-laki mencari istri dengan kriteria 'pandai mengurus rumah, anak, pandai masak', jawaban ketus mereka adalah: "Itu sih nyari pembantu, bukan nyari istri."

Pekerjaan mulia dianggap rendah, hanya karena pekerjaan itu dilakukan dirumah, untuk keluarga, dan tidak ada yang merintah-merintah. Tapi bila gadis-gadis itu bekerja di kafe, restoran, mekdi atau kentaki fraid ciken, mereka menganggapnya pekerjaan bergengsi, hanya karena tempatnya di dapur mekdi dan badannya dibungkus seragam, plus disuruh-suruh manajer.

Atau mereka bekerja di bank, melayani nasabah laki-laki. Itu melayani suami orang. Itu karir. Itu bergengsi. Membuatkan kopi untuk suami, itu pekerjaan pembantu.

Jadi sekpri lebih bergengsi lagi. Kalo bos nyuruh rapat di luar kota, harus ikut. Izin suami tak relevan. Kalau ada suami tak mengizinkan itu suami penghambat karir. Kalau istri tak bisa melayani suami karena ada tugas kantor, sang kantor tak disebut sebagai penghambat tugas istri.

Wahai para nona dan nyonya, karir tertinggi seorang perempuan adalah ibu. Mengurus anak, mendampingi dan melayani suami, mengatur rumah tangga, sudah termasuk dalam definisi kata 'ibu'. Peran seorang ibu rumah tangga lebih tinggi nilainya daripada peran seorang menteri, direktur, atau bintang panggung.

Ibu rumah tangga sepenuhnya independen, tidak disuruh-suruh bos dan diperbudak perusahaan untuk gaji yang tak pernah cukup. Pekerjaannya bersumber dari hatinurani ibu. Kecuali kalau hatinurani itu sudah hilang atau tergantikan oleh mental budak.

*sumber: notes fb Kafil Yamin

0 Response to " "Wahai para nona dan nyonya, karir tertinggi seorang perempuan adalah ibu""

Posting Komentar