Minggu, 14 Februari 2016
Ditulis oleh: Badrul Munir
Dokter Spesialis Saraf Devisi Infeksi, Bekerja merawat HIV-AIDS RS Saiful Anwar Malang
Perkembangan Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia masih cukup menarik untuk ditelaah. Persoalan LGBT di Indonesia berhasil membelah masyarakat menjadi 2 kelompok yang saling berhadapan.
Hal ini terlihat dari pendapat masyarakat yang saling berhadapan beberapa artikel di media nasional dan media sosial, opini mereka sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pola pikir mereka serta orientasi hidup yang bersangkutan.
Hal lain yang perlu ditelaah adalah semakin beraninya penggiat dan komunitas LGBT menunjukan eksitensinya.
Dahulu perbuatan ini dianggap malu dan tidak sesuai norma kesusilaan di masyarakat.
Kini sudah semakin cair dengan perkembangan jaman, karena di era globalisasi seperti sekarang ini hak asasi manusia dan kebebasan sangat dijunjung tinggi, para penggiat LGBT dan HAM berpendapat bahwa hidup dan berhubungan sejenis merupakan hak individu yang boleh dilakukan siapapun asal tidak merugikan orang lain. Hubungan sejenis suka sama suka bukan suatu pelanggaran, bahkan suatu pilihan hidup asasi seseorang.
Filosofis dari penggiat LGBT ini adalah kebebasan, artinya setiap manusia bebas apa saja asal tidak merugikan orang lain termasuk dalam orientasi seksual mereka tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Komunitas ini terus memperjuangkannya baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Perjuangan di Indonesia melalui beberapa media salah satu media yang memudahkan misi ini dengan mendompleng kebebasan akademis di kampus atau lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Perjuangan penggiat LGBT banyak mendapat kemajuan.
Sebagai bukti saat ini ada 14 negara telah memperbolehkan pernikahan sejenis, dan hanya 3 negara yang melarang keras dan menganggap kriminal pernihakan sejenis tersebut.
Sedangkan sebagian besar negara lain (termasuk Indonesia) tidak ada aturan yang melarang atau memperbolehkan.
Keberhasilannya penggiat LGBT semakin mendapat angin segar, saat badan kesehatan dunia (WHO) menghapus LGBT dari kelainan jiwa di daftar Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V).
Keberhasilan besar ini kemudian didorong oleh kelompok LGBT ini dijadikan hari gay sedunia.
Dampak LGBT dalam penyebaran HIV AIDS
Boleh saja para penggiat hak asasi manusia berjuang keras melegalkan LGBT agar diperlakukan sebagai manusia lain yang punya hak untuk hidup dan memilih orientasi seksualnya.
Akan tetapi dampak LGBT di bidang kesehatan di bawah ini mungkin bisa jadi renungan mereka semua.
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat tahun 2010 memaparkan dari 50.000 infeksi HIV baru ternyata 2/3 dari mereka adalah kelompok gay MLM (male sex male).
Dan yang mengejutkan 1 diantara 5 gay yang terinfeksi HIV tidak perduli penyakit HIV-AIDS. Artinya tidak ada usaha untuk mencegah HIV tertular ke orang lain dan berpotensi menular ke panter seks lainnya.
Data ini bila dibanding tahun 2008 terjadi peningkatan 20% gay yang tertular HIV dan data lain dari CDC wanita transgender mempunyai risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibanding wanita biasa.
Data terbaru tahun 2013 lebih mengerikan, dari hasil skrening gay umur 13 tahun ke atas didapatkan 81% terinfeksi HIV dan 55% terdiagnosis AIDS.
Selaras dengan kejadian di Amerika, peningkatan penularan HIV di LGBT di Indonesia juga menunjukan peningkatan yang cukup bermakna, berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional.
Terjadi peningkatan jumlah penderita HIV di kelompok homoseksual dari 6% (2008) menjadi 8% (2010) dan terus menjadi 12% (2014). Sedangkan jumlah ODHA kelompok wanita pekerja seksual stabil di angka 8-9%.
Penggiat LGBT bertanggung jawab?
Bila nantinya para LGBT terinfeksi HIV dan menderita AIDS yang harus dirawat di rumah sakit siapa yang paling bertanggung jawab dan mejaganya?
Apakah para penggiat LGBT dan HAM yang merawat dan menjaganya? Saya pastikan tidak.
Pengalaman penulis yang mengobati pasien HIV-AIDS di rumah sakit menemukan yang menjaga di rumah sakit adalah keluarga dekatnya.
Dan dalam wawancara dengan mereka pada umumnya sangat menyesal dan menyayangkan mengapa keluarganya harus menderita penyakit HIV AIDS.
Padahal saat masih sehat anjuran menghindari potensi penularan HIV AIDS sudah berulang kali diingatkan.
Yang lebih ironis adalah saat terinfeksi HIV-AIDS karena penyimpangan seksual, mereka akan sangat tersinggung bilamana ada sekelompok masyarakat yang dianggap menjauh dari mereka karena takut tertular.
Maka dunia mengkampanyekan anti diskriminasi dan anti stigma negatif terhadap HIV-AIDS.
Memang tidak semua ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) berasal dari penyimpangan seksual tetapi data menunjukan penyebaran utama adalah hubungan seksual tidak aman termasuk homoseksual dan LGBT.
Sementara saat 'calon ODHA' masih sehat, semua anjuran untuk hidup sehat dan menghindari potensi penularan HIV-AIDS seperti seks bebas, dan homoseksual dianggap melanggar hak asasinya, dan dilawan terus atas nama kebebasan dan hak asasi manusia.
Ini adalah sebuah ironi yang sedang terjadi di masyarakat ini tetapi nyata adanya
Maka sesungguhnya para penggiat LGBT yang mengatas namakan Hak Asasi Manusia dan kebebasan adalah para penganjur seseorang untuk memilih jalan yang salah.
Dan saat korban terperosok ke dalam penyakit HIV AIDS mereka pasti tidak mau menanggungnya dan menyerahkan dampak kepada penderita dan keluarganya.
Sesuatu yang sungguh ironi, yang lebih ironi lagi adalah bilamana sekelompok manusia yang disematkan kepadanya seorang ilmuwan muslim yang mengeluarkan pendapat bahwa LGBT dan homoseksual adalah halal dan tidak berdosa.
Maka penggiat LGBT jangan hanya mengedepankan asas kebebasan dan HAM tetapi lihatlah dampak LGBT.
Dan bertanggung jawablah apabila mereka para LGBT terinfeksi HIV-AIDS dengan ikut merawat dan mejaganya.
*Sumber: Tribunnews
0 Response to "[Catatan Dokter] Pegiat LGBT Harus Mau Merawat Penderita AIDS"
Posting Komentar